Buktinya, Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan yang saat itu berada di Bali, dalam rangka pertemuan dengan para Kepala Negara ASEAN, langsung mempersingkat keberadaannya di Indonesia.
Presiden yang bekas bintang film itu, tak banyak basa-basi. Ronald Reagan langsung pamit kepada Presiden RI Soeharto sebagai tuan rumah.
Banyak kalangan terutama protokol kepresidenan, Departemen Luar Negeri dan pemerhati hubungan RI-AS, bingung ataupun terkejut, sambil bertanya.
Apa urgensinya seorang Presiden AS harus berada di Gedung Putih, Washington, sementara kecelakaan nuklir berada di wilayah negara lain?
Letak Chernobylpun cukup jauh. Di benua Eropa dan dengan benua Amerika dipisahkan oleh Samudera Atlantik. sebuah laut dengan hamparan air yang cukup luas.
Lagi pula dengan meninggalkan Bali, Presiden AS itu sama dengan membatalkan semua pembicaraan penting yang sudah diagendakan jauh sebelumnya. Sementara KTT Informal ASEAN itu sendiri digelar di Bali sesuai keinginan Amerika Serikat.
Adalah Presiden Reagan yang tidak mau memperlihatkan kebijakan Gedung Putih yang mengistimewakan satu di antara negara anggota ASEAN. Atas dasar itu Reagan mengusulkan agar dia tidak mengadakan lawatan ke satu per satu negara ASEAN. Tetapi cukup berkunjung ke salah satu wilayah di Indonesia. Yang penting bukan di ibukota sebuah negara. Sehingga lawatan itu tidak bersifat kunjungan dalam rangka hubungan bilateral. Maka jadilah Bali, bukan Jakata sebagai tempat KTT informal ASEAN - AS.
Dengan membatalkan semua acara tersisa, Presiden Reagan sama dengan meremeh-temehkan Indonesia ataupun sekutunya di Asia Tenggara.
Padahal saat itu Indonesia merupakan sekutu kedua terkuat Amerika Serikat di ASEAN setelah Filipina.
Para pejabat Indonesia banyak yang terkejut dan sulit memahami alasan Presiden AS. Protokol Indonesia punya rasa kesal, sekalipun perasaan itu tak terucapkan.
Pada tahun 2010, kejadian yang mirip dilakukan oleh Presiden AS Barack Husein Obama. Bedanya pada waktu itu Obama belum berada di Indonesia atau Jakarta. Dia masih berada di Gedung Putih.
Tapi dalam satu tahun itu, Obama dua kali membatalkan kunjungannya ke Indonesia dengan alasan dia sedang menghadapi pembahasan UU soal kesehatan atau yang dikenal Obama Care.
Reaksi di Indonesia atas pembatalan itu, berragam. Yang pasti tidak semua menganggapnya sebagai sesuatu yang bisa diterima.
Hanya saja bagi pihak yang kritis, semakin paham bahwa visi seorang Presiden AS itu sangat jelas. Kepentingan nasional adalah di atas segala-galanya.
Kalimat yang sama juga populer di kalangan elit politik Indonesia. Bedanya, kalau bagi Indonesia, kalimat itu hanya sebatas jargon. Mudah dan sering diucapkan, sulit dan bahkan jarang dilaksanakan.
Dua kejadian tentang apa yang dilakukan Presiden AS ini dimunculkan sebagai pembanding dengan satu persepsi, betapa seorang Presiden AS sangat peduli kepada rakyatnya.
Sumpah jabatan yang pada intinya berjanji akan bekerja sebaik-baiknya bagi bangsa dan negara, tetap diingat. Tidak dilupakan begitu saja setelah memangku jabatan.
Cukup kontras dengan sikap Presiden kita Joko Widodo.
Presiden RI ini Sabtu petang 24 Oktober 2015 meninggalkan Jakarta dengan "Air Force One Indonesia", menuju Washington. Agenda utamanya bertemu dengan Presiden Barack Obama.
Yang cukup memprihatinkan, Presiden Joko Widodo meninggalkan tanah air di saat demikian banyak persoalan yang sedang dihadapi bangsa. Dan persoalan-persoakan itu yang merupakan tanggung jawabnya, dia biarkan seperti ungkapan lama "qisera- sera".
Terlalu melelahkan kalau disebut satu persatu semua persoalan yang dimaksud. Namun sangat jelas, visi dan kepeduliannya sebagaii negarawan, sangat berbeda jauh dengan Reagan dan Obama. Sense of Urgency-nya rendah. Maaf beribu maaf pak presiden karena terpaksa harus menegaskannya.
"Blusukan" yang selama ini dilakukan Joko Widodo untuk menunjukkan dia peduli pada rakyat yang terpinggirkan atau dimarjinalkan, tergores. Sebab Joko Widodo lebih memilih "blusukan" ke Gedung Putih, ketimbang menyatu dengan rakyatnya.
Joko Widodo mengejar simbol yang berada di Gedung Putih., sebuah simbol yang tak ada artinya kalau empati rakyat Indonesia, dari Sabang samoai Merauke, sudah berubah menjadi anti-pati.
Seorang Reagan, begitu peduli tentang kemungkinan radiasi nuklir dari benua Eropa menyebar ke (benua) Amerika Utara. Belum ada korban di pihak rakyatnya, Reagan sudah menunjukkan kepedulainnya yang tinggi kepada rakyat dan bansanya. Sehingga tak ada cela bagi siapapun melancarkan kritik kepadanya.
Sebaliknya seorang Joko Widodo, begitu rendahnya dalam cara pandang dan menghayati penderitaan rakyatnya. Laporan terbuka maupun tertutup jelas menunjukkan kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera, masih berkanjut. Belum teratasi.
Penderitaan rakyatnya di dua pulau itu, sudah menyebabkan ada yang ingin pindah, keluar dari NKRI. Teriakan ini tak dianggap Joko Widodo sebagai sebuah jeritan putus asa.
Kalau ditotal, jumlah rakyatnya yang menderita di Kalimantan dan Sumatera sudah dalam kisaran angka lebih dari 10 juta orang. Yang menderita kesulitan benapas sudah puluhan ribu. Yang dilaporkan meninggal sudah ratusan.
Tapi angka-angka yang berbicara ini seolah sebuah statistik belaka.
Hal mana membuat cela bagi kritikan untuk Joko Widodo, berada di mana-mana.
Dengan sudah menerima bantuan dari negara-negara sahabat untuk memadamkan kebakaran hutan. seakan-akan Joko Widodo sebagai Presiden, sudah melaksanakan tugasnya. Presiden lupa bahwa tugas yang dilaksanakannya itu belum final karena besar kemungkinan korban yang berjatuhan akan bertambah.
Lagi pula kebakaran hutan sudah melebar ke Sulawesi, Maluku Utara dan Papua serta bahka di Jawa Timur. Indonesia sudah menangis karena buminya mulai terbakar.
Muncul pertanyaan, apakah Joko Widodo sebagai Presiden RI baru terpanggil, tersentuh dan merasa bertanggug jawab jika Kebun Raya Bogor dan Istana Bogor yang jadi huniannya sekarang - terbakar?
Indonesia bukan AS. Tetapi rakyat Indonesia dan Amerika Serikat dalam soal hati dan perasaan, sama.
Reagan dan Obama bukanlah Presiden RI yang mengadopsi Pancasila sebagai falsafah bangsanya Tetapi cara mereka memimpin bangsanya - lebih Pancasilais.
Rakyat Indonesia dan AS, sama-sama manusia. Sebagai mahluk hidup, keduanya membutuhkan pemimpin yang punya kepekaan yang tinggi. Yang mengerti dan paham membedakan mana yang penting dan mana yang tidak penting untuk disampaikan kepada pemimpinnya.
Saya hanya rajyat biasa yang mungkin memliki talenta lebih dalam mengulas sebuah persoalan. Tapi kalau saya ditanya, lantas apa yang harus dilakukan Presiden Joko Widodo.
Logika sederhana saya akan berkata : "Batalkan kunjungan ke AS. Bila perlu, sekalipun pesawat kepresidenan sudah berada di atas Samudera Pasifik, saya akan sarankan kepada Bapak Presiden untuk cikar balik ke Indonesia".
Tokh kunjungan ke Gedung Putih ini lebih banyak untuk kepentingan protokoler dan basa-basi. Urgensinya tidak penting jika melihat agenda yang diumumkan.
Obama pun tidak melihat Joko Widodo sebagai Presiden yang harus disambut setara dengan pemimpin dari negara lain.
Buktinya Obama tidak menyambutnya sendiri di bandara tempat pesawat Indonesia Satu mendarat.
Dalam konteks ini, semestinya Presiden dan para penasehat politik (luar negerinya) membuka mata dan telinga mereka lebar-lebar.
Kalau tidak, jangan kaget jika ada rakyat Indonesia khususnya yang berada di "Danau Asap" Kalimantan dan Sumatera, mendoakan negatif kunjungan Presiden RI ini.
Jangan lupa doa rakyat yang sedang menderita itu lebih menusuk hati ketimbang mereka yang bekerja di Istana.
[***]