Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

TITIK KOMA

Jokowi Harus Hati-hati Soal Freeport!

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/faisal-mahrawa-5'>FAISAL MAHRAWA</a>
OLEH: FAISAL MAHRAWA
  • Sabtu, 24 Oktober 2015, 10:26 WIB
Jokowi Harus Hati-hati Soal Freeport<i>!</i>
ilustrasi/net
PRESIDEN Joko Widodo pada hari Senin, 26 Oktober, pukul 09.00 waktu Washington DC dijadwalkan sarapan bersama para eksekutif Freeport McMoran.

Di dalam rencana pertemuan dengan Freeport McMoran itu, Presiden Jokowi akan didampingi antara lain Menteri ESDM Sudirman Said (SS).

Dapat dipastikan pembicaraan di antara mereka berkaitan dengan perpanjangan kontrak korporasi tambang terbesar (yang 97 persen keuntungannya dihasilkan dari Papua) di dunia tersebut dengan Pemerintah Indonesia yang akan berakhir pada tahun 2021.

Kurang jelas apakah pertemuan Presiden dengan Freeport McMoran sudah dipertimbangkan dengan masak-masak dampak politiknya, mengingat Pemerintahan Obama berasal dari Partai Demokrat yang cukup concern terhadap masalah lingkungan, sedangkan Freeport yang dekat dengan oposisi Partai Republik di AS terkenal sebagai perusahaan yang memiliki catatan jelek mengenai isu lingkungan.

Biarlah hal itu nanti diurus oleh Menkopolkam Luhut Binsar Panjaitan (yang kabarnya batal berangkat menemani ke AS karena masalah krisis asap). Kita tinggalkan sejenak masalah politik internal AS dan dampaknya terhadap kunjungan Jokowi nanti, dan kembali ke inti tulisan ini yaitu tentang perpanjangan kontrak Freeport di Indonesia.

Seperti diketahui, dua minggu belakangan cukup memanas  perang opini antara SS dan Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli (RR) terkait perpanjangan kontrak Freeport, yang akhirnya juga memaksa Presiden Jokowi ikut turun bicara.

Dimulai tanggal 12 Oktober 2015, pada suatu wawancara di Gedung KPK, Menko RR menyatakan bahwa ada seorang Menteri yang sudah "keblinger" karena ingin mempercepat perpanjangan kontrak Freeport yang seharusnya baru dilakukan tahun 2019. Menurut RR, upaya yang dilakukan oleh si Menteri ini (dapat dipastikan adalah SS) merupakan tindakan melawan hukum.

Tudingan keras semacam ini tentu kemudian sangat menyita perhatian publik dan menimbulkan reaksi balik dari SS dan para pembantunya -tersebutlah kemudian nama semacam Said Didu, staf khusus SS, dan Teten Masduki, Kepala Staf Kepresidenan. Anehnya, Dirjen Mineral dan Batubara (Minerba) ESDM Bambang Gatot, pejabat yang secara teknis paling mengetahui detail kontrak, tidak ikut berbicara sama sekali ke publik untuk mendukung SS. Yang kemudian diketahui ternyata si Dirjen Minerba berseberangan posisi dengan SS terkait Freeport.

Untuk memudahkan pembaca memahami masalah perpanjangan kontrak Freeport ini, berikut akan disajikan dalam bentuk kronologis sederhana.

Tahun 1991. Pada 30 Desember 1991 Kontrak Karya/KK (generasi kedua, atau yang terakhir) antara Freeport dan Pemerintah Indonesia ditanda tangani untuk masa berlaku selama 30 tahun, hingga berakhirnya tahun 2021. Pihak Indonesia diwakili oleh Ginandjar Kartasasmita selaku Menteri Pertambangan dan Energi dan pihak Freeport diwakili oleh Hoediatmo Hoed selaku Presiden Direktur. Diduga kuat pada saat penandatanganan KK tersebut, Ginandjar  menerima suap dari Freeport dalam bentuk saham, yang belakangan kabarnya saham tersebut dilepaskan ke Aburizal Bakrie- keduanya sampai sekarang dikenal sebagai tokoh Golkar.

Adapun isi KK tersebut mengatur antara lain soal royalti (pasal 13 ayat 2) dan divestasi. Disebutkan bahwa royalti, atau iuran atas produksi, yang harus dibayarkan oleh Freeport adalah sebesar 1-3,5% (tergantung harga pasar) untuk Tembaga dan 1% untuk Emas (atau logam mulia ikutan lainnya seperti Perak).

Tentang divestasi disebutkan bahwa selambatnya 10 tahun setelah penandatangan KK, atau pada tahun 2001, Freeport sudah harus melepas sahamnya sebesar 10% kepada Pihak Nasional”. Kemudian, untuk 10 tahun berikutnya, atau pada tahun 2011, Pihak Nasional Indonesia” sudah harus memiliki 51% saham Freeport (pen: seperti kita ketahui, hingga tahun 2015 ini saham Freeport yang dilepas ke pemerintah dan swasta nasional masih kurang dari 20%). Disebutkan bahwa "cara penjualan saham, apakah dijual melalui bursa efek atau cara lain", ditentukan oleh Pemerintah Indonesia.

Tahun 2001. Menko Perekonomian RR, di akhir masa Presiden Gus Dur, memaksa pimpinan Freeport McMoran James R. Moffett untuk membayar kompensasi kepada Pemerintah Indonesia dan khususnya kepada Rakyat Papua atas kecilnya royalti emas yang dibayarkan, kerusakan lingkungan di wilayah penambangan, dan pelanggaran HAM terhadap Rakyat Papua. Beberapa tahun sebelum menjadi Menteri, RR bersama lembaga penelitian yang didirikannya, Econit Advisory Group, telah melakukan studi secara mendalam terkait Papua dan Freeport.

Untuk melunakkan Menko RR, Jim Moffet dikabarkan sempat berusaha menyuap RR dengan fasilitas jalan-jalan dengan pesawat jet pribadi untuk menonton musik klasik di Broadway. Bandingkan dengan SS yang pada Maret 2015 kedapatan naik pesawat jet pribadi Gulfstream G-550 dengan biaya Petral, namun tetap ngeyel bahwa hal ini bukan gratifikasi.

Namun RR bertahan dan pendek cerita, nilai kompensasi yang akhirnya disepakati harus dibayarkan Freeport ke Rakyat Papua adalah sebesar 5 miliar dollar AS (atau dengan kurs saat ini adalah sebesar Rp 65 triliun). Sayangnya setelah Pemerintahan Gus Dur jatuh, kesepakatan ini tidak difollow up oleh Pemerintahan berikut-berikutnya.

Tahun 2009. Pemerintah dan DPR mengesahkan UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Disebutkan dalam Menimbang” poin (c): bahwa dengan mempertimbangkan perkembangan nasional maupun internasional, Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan sudah tidak sesuai lagi.

Berdasarkan Pasal 169 poin (a) dan (b) UU 4/2009, disebutkan bahwa KK masih tetap berlaku sampai dengan masa berakhirnya KK tersebut, namun demikian beberapa ketentuan di dalam KK tersebut akan diubah. UU 4/ 2009 ini sendiri semangatnya yang sudah dikenal luas adalah soal pengolahan dan pemurnian dalam negeri, yaitu berdasarkan Pasal 170, seluruh perusahaan pemegang KK yang sudah berproduksi, tentu termasuk Freeport, wajib melakukan pemurnian di dalam negeri. Faktanya, tidak ada satupun perusahaan pemegang KK ,termasuk Freeport, yang telah mematuhi ketentuan pembangunan smelter hingga saat ini.

25 Juli 2014. Di bawah Dirjen Minerba saat itu, R. Sukhyar, dan Presdir Freeport Rozik Soetjipto dibuat nota kesepahaman antara Pemerintah dengan Freeport tentang penyesuaian KK. KK yang disebut sebagai KK perubahan ini memuat perubahan-perubahan aturan mengenai wilayah KK, kelanjutan operasi pertambangan, penerimaan negara, pengolahan dan pemurnian dalam negeri, divestasi, dan penggunaan tenaga kerja lokal serta barang dan jasa dalam negeri. Untuk wilayah KK, Freeport telah sepakat untuk mengurangi wilayahnya dari 2.610.182 Ha menjadi 127.000 Ha (terbagi  menjadi 10.000 Ha Blok A dan 117.000 Ha Blok B- dengan 17.330 Ha dikelola oleh Pemerintah Daerah Papua).

Tentang kelanjutan operasi pertambangan, disebutkan bahwa sebelum masa operasi produksi awal KK berakhir pada tahun 2021, berdasarkan Pasal 169 UU  4/2009 yang mengatur bahwa KK yang telah ada sebelum ini tetap diberlakukan sampai berakhirnya kontrak dan harus disesuaikan dengan ketentuan UU dan Pasal 112 angka (2) Peraturan Pemerintah (PP) 23/2010 (yang kemudian diubah sebanyak tiga kali menjadi PP 77/2014).

Di dalam Pasal itu disebutkan perusahaan mempunyai hak untuk mengajukan permohonan keberlanjutan operasi pertambangan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan Khusus/IUPK untuk jangka waktu 2x10 tahun dengan tahapan: 2 tahun sebelum berakhirnya masa operasi produksi KK, perusahaan dapat mengajukan permohonan kelanjutan operasi pertambangan untuk jangka waktu 1x 10 tahun.

Juga disebutkan, bahwa sepanjang perusahaan telah memenuhi kewajibannya (pengolahan dalam negeri, kewajiban penggunaan tenaga kerja lokal dan barang dalam negeri, penyesuaian luas wilayah, penerimaan negara, divestasi, dll) maka pemerintah tidak akan menahan atau menunda kelanjutan operasi perusahaan. Tentang penerimaan negara, khususnya royalti, tariff sebagaimana diatur di Pasal 13 ayat (2) KK ditingkatkan menjadi tariff-tarif seperti diatur PP 9/2012, menjadi 4% untuk tembaga, 3,75% untuk emas, dan 3,25% untuk perak sampai berakhirnya KK.

Tentang divestasi, disebutkan bahwa Freeport sepakat melakukan divestasi: 1) terhadap penambangan bawah tanah sebesar 30% yang dilakukan bertahap (hingga tahun 2015 sebanyak 20%, dan hingga tahun 2019 sebanyak 10%) dan; 2) saham yang sudah listing di bursa saham Indonesia dapat diakui sebagai peserta Indonesia paling banyak 20%.

23 Januari 2015. Di bawah Dirjen Minerba saat itu, R. Sukhyar, dan Presdir Freeport Maroef Sjamsoeddin dibuatlah apa yang disebut sebagai "perpanjangan nota kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PT Freeport Indonesia". Ternyata Freeport belum sepakat terhadap butir-butir kesepahaman tentang perubahan KK yang dibuat 25 Juli 2014. Akhirnya disepakati bersama dibuatlah perpanjangan hingga 25 Juli 2015.

Menurut Sukhyar, hal-hal yang belum disepakati oleh Freeport adalah tentang kelanjutan operasi pertambangan dan tentang penerimaan negara (royalti).

1-7 Mei 2015. R. Sukhyar pensiun dari jabatan Dirjen Minerba. SS mengusulkan agar Said Didu diangkat sebagai Dirjen Minerba, namun ternyata Presiden Jokowi lebih memilih Bambang Gatot sebagai Dirjen Minerba yang baru. Info yang berkembang, dalam berbagai kesempatan rapat-rapat di luar ESDM, Said Didu akhirnya terus berusaha menunjukkan dominasinya atas Dirjen Minerba terpilih Bambang Gatot.

7 Juli 2015
. SS mengantar Presiden Komisaris Freeport James R. Moffett menemui Presiden Jokowi di Istana Negara. SS berpendapat bahwa Jokowi memberikan lampu hijau kepada Moffett bagi perpanjangan kontrak Freeport di Indonesia. Disebutkan oleh SS, saat itu Jokowi menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk membangun iklim investasi yang sehat dan menjaga pertumbuhan ekonomi.

12 Agustus 2015. Presiden Jokowi melakukan reshuffle kabinet, RR kembali masuk setelah 14 tahun berada di luar Pemerintahan. Terpilih sebagai Menteri Koordinator yang berdasarkan Perpres 10/2015 bertugas untuk mengkoordinasikan, mensupervisi, dan mengendalikan kementerian-kementerian teknis yang salah satunya adalah ESDM.  Pada saat pelantikannya sebagai Menko, dari semua menteri yang berada di bawah koordinasi RR, hanya SS yang tidak hadir. SS berulang kali tidak hadir dalam berbagai undangan rapat yang diadakan Menko RR sejak Agustus hingga Oktober.

31 Agustus 2015. Dirjen Minerba pilihan Presiden Jokowi, Bambang Gatot, melayangkan surat teguran kepada Freeport karena: 1) selama proses negosiasi amandemen KK sejak Oktober 2014 hingga Maret 2015, dari 20 (dua puluh) pasal yang ditawarkan Pemerintah Indonesia, Freeport hanya menyetujui secara utuh 2 (dua) pasal saja; 2) pemerintah pada 21 Agustus beritikad baik melakukan pembahasan amandemen KK, namun Freeport menyatakan bahwa KK yang ada tetap berlaku hingga tahun 2021 dan perpanjangannya juga dalam bentuk KK; 3) Freeport berpendapat bahwa UU No 4 tahun 2009 tentang Minerba tidak berlaku untuk KK Freeport karena KK Freeport tahun 1991 disetujui berdasarkan UU No 11 tahun 1967 yang berlaku naildown.

11 September 2015. SS mengirim surat tanpa tembusan kepada Presdir Freeport Maroef Syamsuddin. Di paragraf kedua surat tersebut tertulis: Perpanjangan operasi PT Freeport Indonesia, selain mengacu pada kontrak karya antara Pemerintah Indonesia dan PT Freeport Indonesia, juga mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku. Sejalan dengan paket stimulus ekonomi yang sedang diguliran pemerintah dan didukung oleh Dewan Perwakilan Rakyat Kementerian ESDM sedang menyiapkan perubahan Peraturan Pemerintah nomor 77 tahun 2014. Di dalamnya perusahaan dapat lebih awal mengajukan permohonan perpanjangan operasinya.

Selain itu di dalam surat tersebut juga dinyatakan oleh SS, bahwa Freeport dapat kembali mengekspor konsentrat yang belum dimurnikan hingga 11 Januari 2017.

7 Oktober 2015
. SS mengirim surat kepada Preskom Freeport James R. Moffett yang intinya adalah: persetujuan perpanjangan kontrak Freeport akan diberikan segera setelah penataan peraturan dan perundangan diimplementasikan. Dalam surat ini juga SS menyebut-nyebut mengenai rencana investasi Freeport sebesar 18 miliar dollar AS bila kontraknya segera diperpanjang. Surat ini ditembuskan ke Presiden Jokowi.

12 Oktober 2015. Di KPK, Menko RR yang baru pulang setelah cuti urusan keluarga selama hampir 10 hari, karena merasa dikelabui SS setelah mengetahui ada upaya pengajuan perubahan PP 77/2014 agar Freeport dapat mempercepat perpanjangan kontrak, langsung menuding SS sebagai Menteri yang keblinger.

16 Oktober 2015. Di Kantor Ditjen Bea Cukai, Presiden Jokowi menegaskan bahwa Freeport baru dapat memperpanjang kontraknya pada tahun 2019, sesuai PP yang berlaku. Jokowi juga menegaskan bahwa tidak akan ada perubahan PP untuk Freeport.

Namun dasar SS adalah Menteri yang ngeyelan dan tukang bohong (akan dijelaskan setelah ini), bukannya patuh kepada arahan Presiden, SS terus saja sibuk membela dirinya dan malah balik menyerang. Seperti contohnya pada wawancara SS di koran Bisnis Indonesia tanggal 21 Oktober 2015, yang berjudul: Ada Orang Yang Sok Tau Soal Freeport.

Dari judulnya saja SS sangat tendensius menuding seseorang, apakah itu Menko RR ataukah Presiden Jokowi.

Kalau Menko RR dikatakan sok tau soal Freeport rasanya tuduhan SS salah alamat. Seperti sudah disebutkan sebelum ini, jauh sebelum SS jadi sesuatu di Republik, RR sudah melakukan penelitian tentang Freeport. RR juga sudah pernah melakukan negosiasi yang keras dengan Freeport juga jauh sebelum SS jadi sesuatu. Jadi apakah mungkin yang disebut sebagai "orang yang sok tau soal Freeport" adalah Presiden Jokowi?

Alangkah beraninya SS bila memang demikian adanya.

Belum usai soal judul. Kemudian ada soal isi wawancara yang menyebutkan, bahwa teknik negosiasi ala RR, yang disetujui Presiden Jokowi, lebih mirip sebagai teknik memeras.

Dengan mengatakan demikian, sama saja dia mengatakan RR atau Presiden Jokowi sebagai tukang peras. Tapi sebelum sampai pada kesimpulan tersebut, kita coba bedah cara berpikir SS yang terbolak-balik ini. Dalam kenyataannya justru Freeport lah yang selama 44 tahun ini menjadi "tukang peras"-nya Rakyat Papua.

Kekayaan mineral Papua yang luar biasa dibawa mentah-mentah ke luar dari Papua, tidak menyisakan apapun untuk pembangunan masyarakat Papua yang masih menjadi wilayah termiskin di Indonesia, yang dibayarkan hanya sedikit royalty ke pemerintah pusat, yang itupun belum tentu dapat sampai ke Papua karena masih sentralistik dan Jawa-sentrisnya pemerintahan sebelum ini.

Sementara rakyat Papua terus ditindas HAM-nya oleh militer Indonesia dan hutan serta sungai dan lautnya dirusak oleh limbah tailing Freeport yang tak terkira banyaknya. Kemudian, misalnya RR saat 14 tahun yang lalu "memeras" Freeport untuk memberikan uang kompensasi sebesar 5 miliar dolar AS untuk diberikan langsung bagi pembangunan ekonomi rakyat Papua dan perbaikan kualitas lingkungan hidupnya, kami rasa sah-sah saja.

Kita jadi bertanya-tanya, siapa sebenarnya yang menjadi sandaran SS sehingga dirinya begitu berani terhadap Presiden Jokowi dan RR (dengan lebih dari 10 kali absen dari undangan rapat di Kemenko Maritim). Selama ini memang kita kenal SS sebagai "orangnya" Kuntoro Mangkusubroto (KM).

SS sudah bareng KM semenjak Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), di sini juga ada Teten Masduki, kemudian saat KM menjadi Kepala BRR Aceh, SS pun terus diajaknya. Tapi kita tidak tahu, saat KM menjadi komisaris perusahaan tanker milik Mafia Migas M. Reza Chalid, apakah SS diajak KM bergabung juga atau tidak di dalamnya. Entahlah. Tapi pastinya saat KM menjadi kepala UKP4 di era pemerintahan SBY-Boediono, SS pun berhasil dipromosikan menjadi Dirut Pindad.

Kemudian, saat UKP4 membuat gerakan Skenario Bandung (suatu kelompok yang merumuskan konsep energi masa depan) pada Juli 2014, kegiatan yang didanai Shell, dan sepertinya berhasil melobby masuk ke dalam Istana Presiden Jokowi yang baru terpilih, SS pun naik menjadi Menteri ESDM.

Baru satu hari dilantik jadi Menteri ESDM, orang pertama yang bertamu ke kantornya di Jl. Thamrin tak lain adalah KM. Kini sebagai balas jasa KM pun diangkat SS  menjadi Komut PLN. Meskipun sejarah mencatat, mungkin SS tidak tahu, bahwa saat KM menjadi Dirut PLN di era Presiden Gus Dur, KM pernah dicopot karena terlibat masalah KKN dengan teman kuliahnya yang bernama Suharya yang merupakan pemain besar batu bara dalam menyuplai pembangkit listrik Paiton.

Namun apakah hanya KM backing politik dari SS? Tentu saja tidak. Ada tokoh-tokoh yang lebih berkuasa, yang selama ini selalu menjadi tempat mengadu dan berlindung SS (dan mungkin sekali menjadi promotornya untuk naik menjadi Menteri ESDM), yaitu Wapres JK dan Menteri BUMN Rini Soemarno.

Ditengarai, sebagai upeti atas jasa perlindungan dan promosi dari JK dan Rini Soemarno, SS siap menyetorkan berbagai proyek di lingkup kementeriannya untuk memperkaya dua orang taipan tersebut. Dua proyek yang tercium dan akhirnya dikepret RR saat Ratas di Kantor Presiden adalah proyek pembangunan fiber storage untuk BBM Pertamina di Banten yang dimenangkan oleh Solihin Kalla dan proyek pembangunan pipa BBM Pertamina sepanjang Pulau Jawa yang disponsori oleh Ari Soemarno.

Seharusnya masih ada proyek-proyek lainnya yang jadi upeti SS ke keduanya, seperti contohnya proyek listrik 35 ribu MW, dll. Dengan backing sekelas JK dan Rini Soemarno, tak heran bila kemudian SS begitu ngeyel ke siapa saja, termasuk itu ke Presiden yang mengangkatnya.

Terakhir adalah soal kebohongan-kebohongan yang dilakukan SS. Yang pertama adalah kebohongan SS kepada Presiden dan seluruh rakyat, soal rencana investasi Freeport sebesar 18 miliar dollar AS. Padahal angka 18 miliar dolar AS tersebut sebenarnya adalah angka pengeluaran modal (capex) Freeport yang disisihkan dari hasil penjualan mineral Papua hingga tahun 2041 (kesaksian Sukhyar).

Tidak mungkin SS yang berlatar belakang akuntan tidak paham permainan semacam itu. Yang kedua adalah bagaimana di hadapan wartawan-wartawan forum Pemred di Dharmawangsa minggu ke-2 Oktober 2015, SS mengaku sering ditindas oleh RR, dan di hadapan mereka  SS menampilkan mimik memelas dan hampir menangis. Padahal faktanya SS yang melakukan pembangkangan atau in-subordinasi kepada RR dengan ketidakhadiran berulang kali dalam rapat-rapat yang diadakan RR.

Yang ketiga adalah bagaimana tahun lalu saat baru diangkat jadi Menteri ESDM, SS tidak pernah mengaku bahwa dirinya adalah kader PKS. Padahal banyak kesaksian, termasuk dari petinggi PKS, bahwa SS pernah menjabat sebagai dewan pakar partai itu.

Inti dari tulisan ini, kepada Presiden Jokowi agar berhati-hati kepada SS terutama dalam kasus Freeport. Mungkin saja nanti akan ada kebohongan-kebohongan lain yang meluncur, tentu disertai kengeyelan, soal betapa teknologi block caving yang dimiliki Freeport adalah yang terbaik dan tidak ada negara lain yang bisa melakukannya. Salah besar.

Saat ini terdapat, selain Freeport, banyak perusahaan tambang yang mampu melakukan tambang bawah tanah dengan sistim block caving. Yang terbesar adalah Coldelco, BUMN tambang milik bangsa Chili. Selain itu Rio Tinto (Australia), Philex Mining (Pilipina), New Gold (Kanada), Shanxi ZTS (RRT).

Atau mungkin saja nanti keluar kebohongan lain dari SS yang menyatakan bahwa cadangan tambang di Papua sudah tinggal sedikit, jadi sebaiknya diberikan ke Freeport saja. Benar-benar salah besar!

Karena, walaupun sudah ditambang selama 50 tahun cadangan yang sudah ditemukan tetapi belum dikerjakan (undeveloped) di Grasberg masih besar sekali. Dinamakan cadangan Grasberg Block Cave (di bawah lubang raksasa yang sudah dibuka dengan sistim Open Pit), dan di beberapa lokasi lain didekat Grasberg dinamakan Kucing Liar dan Deep Mill Level Zone, dll.

Perlu diketahui, rencana Freeport adalah menambang cadangan itu dengan produksi bijih sekitar 250 ribu ton perhari. Sama dengan produksi tambang terbuka Grasberg sebelumnya.  Setelah habis masa kontrak tahun 2021, cadangan yang masih belum diolah itu total mendekati 37 milyar lb tembaga dan 32 juta oz emas. Besar sekali. Saat ini harga tembaga sekitar $2,60/lb dan harga emas $1150/oz.

Cadangan itu dan seluruh perlengkapan yang ada harus dinilai kembali oleh lembaga independen, menjadi modal pemerintah (ada yang berseloroh, semisal semua emas tersebut dimasukkan ke Bank Indonesia, bukan tidak mungkin nilai kurs kita akan melejit sampai Rp 5000 per dolar AS!). Operasi tambang Grasberg paska 2021 sepenuhnya wewenang pemerintah RI sebagai pemilik cadangan itu. [***]

Penulis adalah Kepala Badan Litbang Kantor Berita Politik RMOL.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA