Putusan ini dikeluarkan sidang peninjauan kembali (PK) pada 8 Juli lalu. Majelis hakim yang memutus adalah ketua Suwardi, dan dua anggota: Soltony Mohdally, dan Mahdi Soroinda Nasution.
Kasus ini bermula ketika pemerintah melalui Jaksa Agung menggugat Soeharto dan Yayasan Supersemar atas dugaan penyelewengan dana beasiswa pada September 1998. Dana yang seharusnya disalurkan kepada siswa dan mahasiswa justru diberikan kepada beberapa perusahaan, di antaranya PTBank Duta sebesar 420 juta dolar AS, PTSempati Air Rp 13,173 miliar, serta PT Kiani Lestari dan Kiani Sakti Rp 150 miliar.
Atas penyelewengan itu, negara mengajukan ganti rugi materiil sebesar 420 juta dolar AS dan Rp 185 miliar serta ganti rugi imateriil Rp 10 triliun. Nah, pada 27 Maret 2008, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutus Yayasan Supersemar bersalah. Putusan ini lalu dikuatkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Jaksa yang belum puas kemudian mengajukan kasasi.
Pada kasasi 2010, MA memutuskan Soeharto sebagai tergugat I dan Yayasan Supersemar sebagai tergugat II bersalah melakukan perbuatan melawan hukum. Majelis kasasi yang saat itu dipimpin Harifin Tumpa memutuskan kedua tergugat membayar kepada negara sebesar 315 juta dolar AS dan Rp 139,2 miliar atau sekitar 75 persen dari tuntun Jaksa Agung. Namun, dalam penulisan putusan ada kekeliruan. Pihak kepaniteraan hanya menulis Rp 139,2 juta atau kurang tiga angka nol di belakangnya.
Atas putusan itu, Jaksa Agung mengajukan peninjauan kembali alias PK. Nah, dalam putusan 8 Juli itu, MA membetulkan salah ketik itu. MA menghukum Supersemar harus membayar 315 juta dolar AS plus Rp 139,2 miliar. Dengan kurs hari ini, Rp 13.500 per dolar AS, total yang harus dibayarkan Supersemar menjadi Rp 4,4 triliun.
"Mengabulkan permohonan pemohon PK yaitu Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia terhadap termohon tergugat HM Soeharto alias Soeharto (ahli warisnya) dkk," demikian bunyi putusan yang diketok Hakim Agung Suwardi.
Namun, yang diwajibkan membayar hanya Yayasan Supersemar. Sedangkan keluarga atau ahli waris Soeharto tidak dibebani tanggung jawab itu. Hal itu sesuai dengan putusan kasasi MA pada 2010.
"Hanya memperbaiki salah ketik (dalam putusan kasasi). Menurut panitera muda, hanya salah ketik saja," ujar Jubir MA Suhadi saat dijumpai wartawan, kemarin.
Nah, untuk eksekusi putusan ini, MA menyerahkan ke PN Jakarta Selatan, sebagai pengadilan tingkat pertama yang pengadili kasus ini. "Karena ini kasus perdata, kewenangan eksekusi ada di pengadilan tingkat pertama setelah menerima permohonan eksekusi dari pihak yang menang," imbuhnya.
Namun, proses eksekusi tidak perlu dilakukan bila pihak Yayasan Supersemar sudah membayar secara sukarela. Bila sudah dibayar artinya hak pemenang sidang sudah terpenuhi.
Bagaimana jika Supersemar tak bisa membayar? Menurut Suhadi, sebelum eksekusi bisa dilakukan proses anmaning, alias proses pembicaraan soal eksekusi. Jika tidak punya uang, bisa dilakukan penyitaan harta benda lain. "Nanti dibicarakan, apakah dia (Supersemar) punya uang atau tidak, atau punya harta tak bergerak yang bisa disita," jelasnya.
Yang jelas, lanjut Suhadi, putusan ini sudah berkekuatan hukum tetap. Keluarga Soeharto dan pihak Yayasan Supersemar tak bisa melakukan upaya hukum lagi untuk melawan putusan itu. "Ini sudah berkekuatan hukum tetap," tegasnya.
Menanggapi ini, Jaksa Agung M Prasetyo siap melakukan eksekusi. "Kalau sudah jadi keputusan, kenapa tidak dieksekusi," ucapnya di Istana Bogor, kemarin.
Namun, Kejaksaan tetap akan hati-hati. Sebelum melakukan eksekusi, Kejaksaan akan mempelajari putusan MA itu terlebih dahulu. Sikap kejaksaan, baru akan diambil setelah mencermati putusan. "Sebelum dieksekusi harus dicermati dulu, menyangkut masalah jumlah dan aneka ragam aset," ujarnya.
Mendengar ada putusan ini, Tommy yang merupakan anak bungsu Soeharo mencak-mencak. Dalam akun twitter, @Tommy_Soeharto1, Tommy membuat belasan cuitan soal ini. Intinya, dia mengklaim dana Supersemar sudah disalurkan lewat beasiswa ke masyarakat.
"Beasiswa untuk masyarakat sejak tahun 70-an diminta dikembalikan. Kalau dana BLBI cukup diendapkan saja, maklum takut kena jewer," cuitan. Tidak jelas siapa yang dimaksud mengendapkan BLBI dan siapa yang takut kena jewer itu.
Berikutnya, Tommy minta agar kasus BLBI segera diberesin. Kalau itu terjadi, dana ini cukup untuk nalangi kas negara dan tak perlu utang. Dana BLBI juga cukup untuk nalangin kas negara, daripada hutang terus. Ekonomi kreatif model baru ya pinjam dan pinjam, gadai dan gadai,†katanya.
Follower Tommy ramai menanggapi cuitan ini. @beny_benz misalnya, sampai me-mention @Tommy_Soeharto, dia menulis begini: "urusin BLBI yang 600 triliun kalau berani. Orangnya masih pada hidup. Soeharto udah almarhum masih diungkit saja. Picik bener nih."
Seperti diketahui, BLBI merupakan skema bantuan yang diberikan Bank Indonesia kepada 48 bank yang mengalami kesulitan likuiditas saat krisis moneter 1998. Pada Desember 98, tercatat Bank Indonesia menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 miliar. Namun nyatanya, banyak dari dana ini diselewengkan pemilik bank. Banyak dari mereka yang lari ke luar negeri dan hingga kini belum tertangkap. Audit BPK menyimpulkan, terjadi indikasi penyimpangan sebesar Rp 138 triliun.
Melanjutkan cuitannya, kata Tommy, kalau dana Supersemar harus dikembalikan, berarti pada penerima beasiswa sejak tahun 70 harus urunan. "Hitung-hitung untuk tambah biaya kampanye yang akan datang," cetusnya.
Tommy menegaskan, selama berkuasa, keluarganya tidak pernah mengungkit masalah rezim sebelumnya. Tapi herannya, rezim sebelumnya malah berusaha menghembuskan konflik.
"Mau ungkit-ungkit yayasan, kenyataannya semua yang mampu saat ini mendirikan yayasan. Bejibun, dari yang abal-abal sampai yang setengah nipu," tutupnya. ***
BERITA TERKAIT: