Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Ramadhan Menembus Batas Positivistis

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/muhammad-sulton-fatoni-5'>MUHAMMAD SULTON FATONI</a>
OLEH: MUHAMMAD SULTON FATONI
  • Minggu, 05 Juli 2015, 14:42 WIB
<i>Ramadhan Menembus Batas Positivistis</i>
Muhammad Sulton Fatoni
KATA 'puasa' itu mempunyai banyak pemahaman. Perspektif agama-agama yang mendominasi pemahaman tentang puasa. Bagi umat Islam, Budha, Hindu, Kristen, Khonghucu, dan pelaku mistisisme mempunyai cara tersendiri dalam mengimplementasikan makna 'puasa'. Meski berbeda-beda pemahaman, di antara penganut agama-agama sepakat bahwa melakukan puasa itu memberikan dampak positif.

Memasuki hari ke-18 bulan Ramadhan, tetangga saya berbisik bahwa berat badannya turun empat kiloan. Tidak hanya itu, gerak tubuhnya lebih nyaman mengingat perut terasa tidak penuh sesak seperti hari-hari sebelum puasa. Dia merasa nyaman dan berharap mampu mempertahankannya pasca bulan Ramadhan. Bagi tetangga saya tersebut, Ramadhan telah mengajarkan cara hidup sehat yang membuat tubuhnya terasa lebih baik dan proporsional. Banyak analisa tentang Puasa Ramadhan dengan pendekatan berbagai disipilin ilmu. Kesimpulan dari berbagai analisa tersebut dipastikan bahwa puasa Ramadhan itu positif untuk manusia. Kesimpulan ini tak ubahnya perasaan umat agama lain yang puasa dengan caranya sendiri.

Puasa perspektif Islam mempunyai 'kedekatan' dengan puasa yang dikenal oleh penganut agama-agama pra Islam. Allah berfirman dalam al-Quran surah al-Baqarah ayat 183: "...sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian". Syaikh Bakr Syatha dalam kitab I'anatut Thalibin mengutip penjelasan seorang ulama, "tidak ada sekelompok orang yang tidak berkewajiban puasa Ramadhan kecuali mereka yang tersesat". Syaikh Hasan al-Basri juga menegaskan, "Dulu puasa Ramadhan itu juga wajib bagi orang-orang Yahudi...begitu juga wajib bagi kaum Nasrani...."

Lalu bagaimanakah kita sebagai seorang muslim harus memahami puasa Ramadhan? Bisa saja memahami puasa dengan pendekatan positivistik sebagaimana ragam empiris di atas. Namun itu bukan orientasi teks (maqashid as-syariah). Puasa Ramadhan murni persoalan religiusitas (ibadah mahdhah). Maka tak ada celah bagi umat Islam untuk menghindari puasa Ramadhan. Ibadah mahdhah itu kategori hukum wajib, yaitu aturan yang berdampak hukum (yutsabu 'ala fi'lihi wa yu'aqabu 'ala tarkihi). Kita sering mendengar kalimat, "puasa Ramadhan, yuk". Maksud dari kalimat tersebut adalah ajakan untuk melaksanakan kewajiban puasa Ramadhan. Kuncinya adalah 'kewajiban'. seseorang yang telah melaksanakan kewajiban puasa Ramadhan berarti ia telah terbebas dari sanksi bahkan sebaliknya ia mendapatkan pahala. Inilah maksud dari puasa Ramadhan sebagai ibadah mahdhah.

Puasa Ramadhan sebagai ibadah mahdhah inilah yang melahirkan berbagai ekses positif yang memasuki berbagai dimensi, salah satunya pada ketakwaan seseorang. Logikanya begini, seseorang yang berpuasa Ramadhan berarti ia 'berhenti' dan 'meninggalkan' (imsak) segala hal yang menggagalkan puasa. Tindakan imsak yang ia lakukan dalam kondisi ia tahu bahwa ia sedang mengendalikan nafsu dan emosinya, berorientasi mendekati Allah Swt dengan target pahala. Inilah ekspresi ketakwaan.

Seseorang yang berpuasa Ramadhan juga digerakkan oleh kesadaran untuk memperbanyak ekspresi ketertundukan kepada Allah Swt. Sedangkan 'tunduk' itu bagian dari wujud ketakwaan kepada Allah. Termasuk seseorang yang berpuasa Ramadhan itu berarti mengenal dan merasakan kelompok fakir miskin yang selalu kelaparan dan kehausan. Berempati seperti ini juga wujud ketakwaan kepada Allah. Semoga puasa Ramadhan kita di tahun ini berbalas ketakwaan kita kepada Allah Swt. [***]

*Penulis adalah Wakil Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA