Politisi PDI Perjuangan, Masinton Pasaribu mengatakan, eksekusi sama sekali tidak bertentangan dengan HAM. Eksekusi mati adalah bukti untuk menegakkan kedaulatan hukum sekaligus kedaulatan negara.
"Maka untuk Mary Jane, yang ditunda itu jangan sampai membatalkan eksekusi matinya. Kalau soal orang yang mengaku di Philipina, itu di luar kedaulatan hukum kita. Juga jangan sampai Mary Jane dipulangkan, karena bisa tidak kembali ke Indonesia," terang dia dalam sebuah diskusi di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta (Rabu, 29/4).
Anggota DPR RI ini juga meminta proses hukum tersebut tidak dilakukan dengan sinetronisasi, dramatisir, apalagi sampai membawa simbol-simbol agama menjelang dieksekusi mati.
"Proses hukum itu jangan sampai lompat-lompat di mana terpidana selalu berusaha mencari celah untuk lolos. Sebab, peradilan pidana mati itu sudah melalui proses hukum panjang, benar, dan inkrah, maka tidak perlu ragu lagi untuk menegakkan keputusan hukum itu sendiri," tandasnya.
Di tempat yang sama pengajar hukum pidana, Akhiar Salmi sepakat jika narkoba itu sudah mengancam tujuan berbangsa dan bernegara, seperti dalam UU No.35/2009 tentang narkotika, bahwa narkotika itu mengancam tujuan nasional. Untuk itu kalau proses hukumnya sudah benar, maka keharusan bagi negara untuk melaksanakan putusan hukum itu sendiri.
"Jadi, bandar dan produsen itu sudah mempertimbangkan resiko akan eksekusi mati itu sendiri. Karena itu grasi dan PTUN mestinya tak bisa dilakukan. Grasi hanya satu kali dan tidak bisa di-PTUN-kan,†tegas pengajar hukum pidana itu.
Lebih penting lagi kata Akhiar, pihaknya meminta DPR dan pemerintah merevisi UU yang mengatur pidana narkoba tersebut, di mana permintaan grasi dan PTUN itu harus memiliki batas waktu ataudeadline, sehingga terpidana tidak main-main untuk mengulur-ulur waktu.
"Dan, khusus Mary Jane, kita tidak mengenal barter terpidana," pungkasnya.
[sam]
BERITA TERKAIT: