RESHUFLLE KABINET

Reshuffle Kabinet Harusnya dari Jokowi, Bukan JK

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/yayan-sopyani-al-hadi-1'>YAYAN SOPYANI AL HADI</a>
LAPORAN: YAYAN SOPYANI AL HADI
  • Rabu, 08 April 2015, 11:41 WIB
<i>Reshuffle</i> Kabinet Harusnya dari Jokowi, Bukan JK
jokowi-jk/net
rmol news logo . Terjadinya miss-manajemen yang kerap dialami pemerintahan Jokowi-JK selama lima bulan terakhir ini mengundang usulan perlunya dilakukan perombakkan kabinet.

Kasus terakhir "nyelonongnya" peraturan presiden tentang kenaikan uang muka pembelian kendaraan bermotor untuk pejabat yang sempat menimbulkan polemik di masyarakat. Para pembantu presiden seperti Menteri Keuangan, Sekretaris Kabinet dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negera saling lempar tanggung jawab. Belum lagi kondisi perekonomian yang "memburuk" ditengarai karena belum maksimalnya menteri-menteri di bidang ekonomi keuangan.

Pengamat komunikasi politik dari Universitas Indonesia (UI), Ari Junaedi, melihat terjadinya miss-manajemen di pemerintahan Jokowi-JK lebih disebabkan tidak adanya dirigen tunggal. Antara Jokowi dan JK jalan sendiri-sendiri serta para menterinya juga cari selamat dan selalu ingin narsis di media massa.

"Sebaiknya perlu tidaknya reshuffle datang dari Jokowi sendiri. Jokowi sebagai dirigen utama dalam orkestra kabinet yang berhak mengganti para pemain musiknya. Dan menurut saya, saat ini memang layak dilakukan reshuffle," ucap pengajar mata kuliah Humas politik di Program Sarjana UI ini kepada Kantor Berita Politik RMOL beberapa saat lalu (Rabu, 8/4).

Menurut Ari Junaedi, yang juga pengajar di Program Pascasarjana UI ini, kalau mau dibedah lebih lanjut banyak menteri-menteri yang disponsori JK kurang moncer prestasinya dalam membenahi perekonomian nasional.

Masih kata Ari, kenaikan bahan bakar minyak (BBM), gas, listrik serta naiknya harga-harga kebutuhan menjadi parameter terjadinya salah urus. Masyarakat yang memilih Jokowi-JK pun menjadi jengah karena janji-janji kampanye mulai meleset satu persatu.

"Ibarat di pertandingan sepakbola dulu dijanjikan menang dengan skor besar. Ternyata sekarang malah kerap kebobolan gol dan tanda-tanda kekalahan sudah di ambang mata," jelas Ari Junaedi yang juga dosen di Program S2 Universitas Diponegoro (Undip) Semarang ini. [ysa]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA