Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Malik Fadjar: Memecah dan Menyatukan Dua Kementerian Tak Sesederhana yang Dibayangkan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/zulhidayat-siregar-1'>ZULHIDAYAT SIREGAR</a>
LAPORAN: ZULHIDAYAT SIREGAR
  • Selasa, 30 September 2014, 05:40 WIB
Malik Fadjar:  Memecah dan Menyatukan Dua Kementerian Tak Sesederhana yang Dibayangkan
malik fajar
rmol news logo Wacana Presiden terpilih Joko Widodo yang akan membentuk Kementerian Pendidikan Dasar Menengah dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi secara terpisah bukan hal baru. Karena pada Soekarno dahulu sudah dilakukan.

Mantan Menteri Pendidikan Nasional, Prof. Abdul Malik Fadjar menjelaskan, pada tahun 1960-an, terdapat Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Selain itu juga ada Kementerian Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan yang dipimpin Thayib Hadiwijaya.

"Waktu itu LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) belum terbentuk, masih MIPI
(Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia). Juga belum ada (Kementerian) Ristek," jelas Malik kepada RMOL (Senin, 29/9).

Baru pada zaman Orde baru, terdapat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kemudian LIPI juga dibentuk. "Tahun 70-an ada Kementerian Ristek dan BPPT," imbuh dia Malik yang duduk sebagai menteri pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri ini.

Karena itu, Malik mempertanyakan Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi dibuat satu kementerian. Karena menurutnya, riset perguruan tinggi itu bagian tidak terpisahkan dari Tri Dharma Perguruan Tinggi yang meliputi pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian kepada masyarakat.

"Jadi apakah itu menjadi (solusi) memecahkan persoalan riset yang selama ini dijadikan pembicaraan mengenai riset belum mengakses pengembangan itu dan seterusnya. Tapi kan sudah ada Menristek. Jadi tidak sesederhana itu memecah dan menyatukan dua kementerian," ungkapnya.

Makanya, dia menambahkan, wacana tersebut mendapat sorotan dari sejumlah pengamat pendidikan termasuk dari mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Daoed Joesoef. "Jadi perlu pengkajian lagi. Jangan malah menjadi persoalan baru. Karena ini juga menyangkut intitusi dan sistem budjeting-nya. Jadi tidak sesederhana itu.

Karena itu menurutnya, yang lebih mendesak adalah memberikan otonomi kepada perguruan tinggi. Meski bukan hal baru, tapi yang jelas otonomi akan memberikan kesempatan lebih luas kepada perguruan tinggi untuk menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi tersebut.

Selain otonomi, juga perlunya membangun komunikasi dan kerja sama antara perguruan tinggi dengan lembaga riset di berbagai instansi termasik Balitbang di semua kementerian.

"Jadi persoalannya bukan bagaimana memberdayakan riset di perguruan tinggi. Tapi bagaimana perguruan tinggi harus mampu melahirkan peneliti-peneliti yang tangguh. Nanti yang men-supplay produk riset itu ya LIPI, ristek. Selama ini sepertinya tidak ada komunikasi. Jadi ini mensinergikan saja berbagai instansi yang mengembangkan riset itu dan perguruan tinggi menyiapkan SDM-nya," demikian Malik. [zul]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA