"Suara rakyat jangan dimanipulasi. Hasil pemilu presiden akan menentujan masa depan demokrasi Indonesia apakah kita akan setback atau melangkah ke jalur demokrasi. Suara rakyat harus dihormati," kata Ikrar dalam siaran persnya kepada Rakyat Merdeka Online (Kamis, 10/9).
‪Karena perbedaan yang kontroversial Ikrar juga mengimbau empat lembaga survei yang memiliki hasil berbeda perlu mengklarifikasi dari aspek metodologis dan transparansi anggaran. Hal ini harus diungkapkan secara terbuka ke publik. Dari aspek metodologi harus jelas berapa sampelnya, di TPS mana saja dan bagaimana sebarannya.
"Publik harus bisa memilah dan memilih mana lembaga survei yang kredibel dari rekam jejaknya. Beberapa lembaga survei yang bermasalah saat ini memiliki track record buruk dalam manipulasi data. Sehingga publik wajar ragu hasil hitung cepat mereka," kata dia.‬
Ikrar menambahkan posisi TNI, POLRI dan Intilijen harus netral bukan hanya secara verbal selama menunggu real count KPU.
"Implementasi prinsip netralitas penting untuk menjawab isu-isu yang menyatakan aparat keamanan dan intelijen berpihak pada satu kandidat," ujarnya.‬
‪Selain itu penting bagi elite jangan memanas-manasi dan melibat-libatkan TNI, POLRI dan Intelijen dalam persaingan politik yang makin genting ini. Dalam situasi munculnya perbedaan hitung cepat, penjagaan aparat keamanan perlu lebih ketat mulai dari tingkat desa, kecamatan sampai kabupaten.‬
"Hal ini untuk menutup peluang bekerjanya vote trading dengan menipulasi suara dalam proses rekapitulasi suara," paparnya.
‪Yang paling utama, sampai menunggu hasil perhitungan resmi, rakyat jangan diadu domba lewat pernyataan elit politik kedua kubu sengan melakukan pembodohan politik dengan manipulasi data survei maupun suara dalam real count.‬
Sementara itu, Yogi Suprayogi Sugandi, pengajar kajian publik Universitas Padjajaran mengatakan dirinya paham lembaga survei juga adalah produk bisnis, dimana mereka mencari keuntungan mencari opini publik untuk keperluan tertentu. Namun, untuk persoalan semacam Pilpres, diperlukan integritas akademik. “Pertarungan kemarin adalah pertarungan kredibilitas dan integritas,†katanya.‬
Ada lembaga yang membuka lebar-lebar ruangan tempat mereka mengolah data, tapi sebaliknya ada beberapa lembaga survei yang tidak mau membuka lebar dapur operasinya. “Ada 7 lembaga survei yang digunakan oleh pasangan capres nomor 2 dan hanya ada 3 yang digunakan oleh pasangan capres no urut 1. Mereka semua harus diaudit dan diumumkan ke masyarakat, mana yang kredibel, “ katanya.‬
Sejalan dengan itu, jika tidak ada kecurangan kredibilitas akhirnya dapat ditemukan dengan munculnya real count keputusan KPU. “Sebab, secara keilmuan, bila menggunakan metode yang sama, maka hasilnya pun tidak akan jauh beda. Ini tugas Perhimpunan Survei Opini Republik Indonesia (Persepsi) mengaudit anggotanya,†ujarnya.
[dem]
BERITA TERKAIT: