Sore hari tanggal 22 Mei, Panglima ABRI Jenderal Wiranto secara mengejutkan memecat saingannya Letjen Prabowo Subianto, Pangkostrad, yang juga menantu Soeharto. Bersama Prabowo juga dicopot teman-teman dekatnya, antara lain Mayjen Muhdi, Pangkopasus. Dengan keputusan itu, Wiranto menjadikan dirinya orang paling kuat di Indonesia sekarang.
Begini penjelasannya.
Sebelum Soeharto tumbang, Prabowo membela Habibie dalam pencalonan sebagai wakil presiden. Prabowo adalah pendukung Habibie di militer. Segera setelah Habibie dilantik jadi presiden, ada kabar bahwa Prabowo akan menggantikan Wiranto sebagai Pangab. Meskipun hal itu tidak terwujud, tetaplah jadi pengetahuan umum bahwa Habibie dan Prabowo bekerjasama dalam satu tim.
Di kubu lain ada Wiranto. Dia mendapat posisi Pangab dari Soeharto, setelah melewati karir ajudan presiden. Tidak seperti Prabowo, Wiranto sejauh ini dikenal sebagai tentara profesional. Orang-orang mengatakan, Soeharto menaruh Wiranto di posisi puncak ABRI, untuk mengimbangi Prabowo. Meskipun Prabowo itu menantunya, Soeharto tak sepenuhnya percaya kepada Prabowo. Prabowo dianggap terlalu ambisius dan terlalu pintar. Ayahnya, ekonom terpandang Prof. Sumitro Djojohadikusumo, tak selalu mendukung pemerintah. Belakangan, Sumitro mendukung Emil Salim, yang menentang Soeharto.
Setelah Habibie jadi presiden, ada tiga kekuatan politik yang bermain di Indonesia. Pertama, Habibie dan Prabowo, didukung oleh sekelompok Muslim yang diorganisir ICMI. Kedua, Wiranto yang memegang kendali ABRI. Ketiga, mahasiswa dan intelektual yang berada di belakang Emil Salim.
Hampir dapat dipastikan, Emil Salim mengantongi dukungan Bank Dunia/IMF, karena dia dikenal jujur, pintar dan dihormati kalangan ekonomi serta intelektual.
Pencopotan Prabowo, mendorong satu unsur baru dalam panggung politik Indonesia. Pertanyaannya: Untuk kepentingan siapa Wiranto mengambil keputusan itu?
Ada dua kemungkinan:
Pertama, Wiranto mencopot Prabowo itu demi kepentingan militer. Untuk mempertahankan kepentingan ABRI di kekuasaan. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa ABRI tak suka Habibie. Sebab, Habibie mengambil industri militer yang menguntungkan ke dalam departemennya, ketika ia menjabat Menristek. Dengan dicopotnya Prabowo, Habibie kehilangan pendukung militernya. Dan, tanpa dukungan ABRI, posisi Habibie sangat lemah.
Kedua, ada kemungkinan Habibie-yang menyadari Prabowo sangat tidak disukai di kalangan militer-mendadak menyadari kekeliruannya dan mengubah persekutuan dengan Wiranto. Prabowo tak disukai di ABRI, karena karirnya melonjak terlalu cepat, dengan bantuan mertuanya. Dia diberi julukan "jenderal via tol". Prabowo juga bertanggungjawab atas penculikan aktivis, penyiksaan dan penembakan mahasiswa. Menyadari hal itu, Habibie mencoba memperkuat posisinya dengan mengubah sekutu militer dari Prabowo ke Wiranto. Dalam hal ini, Wiranto bertindak demi kepentingan Habibie. Dan membentuk persekutuan Habibie-Wiranto. Tetapi hasilnya, Habibie akan sangat bergantung pada Wiranto.
Baik kemungkinan satu ataupun dua, Wiranto akan muncul sebagai orang kuat baru di Indonesia. Langkah berikutnya, bila dia mempunyai ambisi untuk jadi orang kuat di republik, adalah mengadakan persekutuan dengan kekuatan rakyat dan memaksa Habibie turun tahta. Sentimen anti-Habibie yang kuat di kalangan masyarakat dan mahasiswa, memudahkan Wiranto melakukan penyingkiran Habibie itu.
Setelah menyingkirkan Habibie, langkah Wiranto berikutnya adalah bekerjasama dengan Emil Salim dan pendukungnya untuk membentuk pemerintahan baru.
Wiranto bisa jadi presiden dan Emil wakilnya, atau sebaliknya, tergantung bagaimana kalangan sipil meningkatkan daya tawar mereka. Pemerintahan itu akan mendapat dukungan domestik, dan dukungan modal internasional. Terutama, bila mereka berhasil membentuk kabinet yang proreformasi.
Bagi saya, yang ikut dalam kelahiran Orde Baru di tahun 1966, ada perasaan kuat bahwa sejarah sedang berulang. Apa yang harus dilakukan bangsa Indonesia adalah menghindari kesalahan yang sama; yaitu melahirkan diktator militer dan korup seperti Soeharto. [***]
Prof. Arief BudimanKepala Program Indonesia di Universitas Melbourne, Australia
Catatan:
Tulisan di atas dimuat media di Australia,
The Australia, yang disadur
XPOS pada 4 Juni 1998 kemudian disebarkan Staf Khusus Presiden, Andi Arief beberapa saat lalu.
BERITA TERKAIT: