Memasuki pertengahan masa kampanye, eskalasi suhu politik di Indonesia meningkat cepat, kedua kubu pendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla tidak hanya terlibat dalam debat pendapat, melainkan hingga bentrokan fisik seperti yang terjadi di Yogyakarta, yang notabene kota Budaya.
Tercatat, dua kali bentrokan fisik antara pendukung Prabowo dan Jokowi, insiden pertama pada Senin (17/6/2014) dimana massa yang diduga pendukung Jokowi terlibat insiden dengan mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) di Jalan Taman Siswa. Berdasarkan pemberitaan, pemukulan dilakukan dengan bambu dan kayu hingga seorang mahasiswa berinisial AK mengalami luka serius di kepala.
Lalu insiden kedua terjadi pada Selasa (24/6/2014) ratusan massa pendukung Prabowo-Hatta dengan massa pendukung Jokowi-JK, terlibat aksi saling lempar batu di perempatan Ngabean. Jika Yogyakarta yang menurut riset para ahli dalam ‘International Conference on Sustainable Built Environment’ (ICSBE) dinobatkan sebagai The Most Liveable City dan masyarakatnya cenderung homogen terjadi insiden fisik, bagaimana dengan wilayah lain yang potensi kekerasannya lebih tinggi? Sekali lagi, beruntung bulan suci Ramadan hadir di tengah perhelatan akbar Pilpres kali ini.
Tidak hanya bentrok fisik yang bisa terhindari tapi juga bentrok batin seperti yang belum lama ini melibatkan tokoh publik Wimar Witoelar, yang terlepas sadar atau tidak sadar, memasang foto The Gallery of Rogues, (Galeri para bajingan) menampilkan foto Prabowo-Hatta dengan latar Presiden Soeharto, Osama Bin Laden, teroris Imam Samudra dan Amrozi serta mencantumkan lambang ormas Muhammadiyah yang disejajarkan dengan ormas Islam lainnya seperti FPI.
Wimar sudah meminta maaf atas perbuatannya itu, Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin pun tidak menuntut maaf dari Wimar, justru dia menyarankan Wimar meminta maaf kepada Tuhan. Sesungguhnya, bagi sebahagian yang paham, saran Din tersebut adalah sebuah satire yang sangat dalam kepada Wimar, karena dalam hubungan sesama manusia (hablum minannas) pemberiaan maaf Tuhan tergantung dari pemberian maaf manusia yang tersakiti hatinya.
Cukup, tidak perlu lagi memperpanjang persoalan perbuatan Wimar terhadap Prabowo-Hatta dan Muhammadiyah, namun bisa diambil kesimpulan sementara, fenomena tersebut merupakan bentuk klimaks dari sengitnya Cyber War antara kedua pedukung fanatik capres. Bisa juga dibaca sebagai tingginya partisipasi politik publik dalam bentuk kampanye non konvensional, sehingga akhirnya kebablasan. Karena, dunia maya merupakan wahana pertarungan paling mudah untuk menggembosi lawan ketika elektabilitas capres yang diusungnya tidak bisa lagi mengalami peningkatan signifikan.
Hamil Tua Berbagai surat kabar Ibukota pada 30 Oktober 1965 memasang judul utama “Ibu Pertiwi Hamil Tua†sebagai sebuah gambaran bahwa situasi Ibukota genting dan tengah menghitung hari bakal pecahnya sebuah kekerasan berdarah yang merengut nyawa warga negara. Istilah ‘hamil tua’ juga merupakan analogi dari eskalasi konflik politik yang kian hari kian memanas, mulai dari pertikaian di internal Angkatan Perang (AP) dan Angkatan Darat (AD), isu Dewan Jenderal hingga konflik antara faksi militer dengan salah satu partai politik terkait isu Angkatan Kelima.
Jurnalis senior Alwi Shahab pernah menuturkan, judul berita surat kabar tersebut merupakan kutipan tokoh politik Anwar Sanusi yang mengatakan, “Ibu Pertiwi hamil tua, dan peraji (dukun beranak) sudah siap untuk kelahiran sang bayi.†Pernyataan itu merupakan gayung bersambut atas pernyataan Wakil Perdana Menteri (Waperdam) I/Menlu Subandrio menyatakan, akan terjadi kristalisasi dimana kawan menjadi lawan.
Meminjam kutipan di atas, kondisi Ibu Pertiwi yang tengah hamil tua pun terjadi saat situasi Pilpres ini, tentu bukan dalam pengertian konotasi negatif akan terjadi kerusuhan berdarah, melainkan dalam arti positif yaitu akan lahirnya penerima tongkat estafet kepemimpinan nasional dalam melanjutkan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Konsolidasi yang tidak setengah hati, konsolidasi yang merangkul seluruh anak bangsa tanpa membawa-bawa lagi dendam masa lalu.
Kedua kubu pendukung fanatik capres baik Prabowo maupun Jokowi harus berkomitmen, mendukung konsolidasi demokrasi siapapun presiden terpilih kelak. Mengobrak-abrik lagi dendam masa lalu sangat tidaklah bajik, semua anak bangsa harus bergandengan tangan melanjutkan agenda-agenda reformasi yang sudah berjalan, karena jarum jam tak bisa diputar, dengan rekonsiliasi bangsa ini akan bisa tinggal landas menuju kemajuan.
Bangsa ini punya teladan mulia tentang rekonsiliasi, ialah Buya Hamka, sang ulama kharismatik yang ikhlas memaafkan Bung Karno, orang yang telah memenjarakannya dua tahun empat bulan lamanya dengan tuduhan merencanakan pembunuhan kepala negara. Tidak hanya itu, buku karya Buya pun dilarang beredar oleh rezim Orde Lama sehingga berakibat kesulitan ekonomi yang dialami keluarga Buya. Begitu pedih penderitaan yang dialami Buya tak membuatnya dendam kepada Sukarno, malahan justru beliau yang memimpin langsung shalat jenazah ketika Bung Karno wafat.
Buya juga memaafkan Pramoedya Ananta Toer yang menuduh novel “T
enggelamnya Kapal Van Der Wijck†merupakan hasil plagiat dari pujangga Prancis, Alvonso Care. Tuduhan itu dikemukakan secara terbuka oleh Pram melalui rubrik Lentera yang dibinanya di Harian Bintang Timur pada 1963. Sakit hati Buya atas tuduhan itu, namun Ia tetap bersabar, bahkan maaf diberikan Buya dengan cara memenuhi permintaan Pram agar Buya meng-Islamkan dan mengajari mengaji calon mantunya yang bernama Daniel Setiawan.
Contoh lain tentang rekonsiliasi adalah AM Fatwa, mantan wakil ketua DPR dan MPR RI ini merasakan bagaimana getirnya ditindas rezim Orde Baru. Tidak hanya dipenjara, melainkan juga disiksa dan dipukuli hingga mengalami geger otak parah, bahkan Fatwa sampai dipecat dari status pegawai negeri akibat kritik-kritik kerasnya. Namun Fatwa memaafkan rezim tiran yang menindasnya itu dengan cara mencium kening Presiden Soeharto saat membesuknya pada 2007.
Prabowo dan Jokowi apapun latar belakangnya, harus bisa diterima sebagai pemimpin nasional yang kelak akan melanjutkan konsolidasi. Tak perlu lagi mengungkit masa lalunya, maupun latar belakang keluarganya, karena Prabowo dan Jokowi adalah putera-putera terbaik bangsa yang sudah menapaki anak tangga kehidupannya, mengabdi kepada bangsa dengan jalannya masing-masing.
Jangan posisikan Pilpres 2014 sebagai pertikaian reinkarnasi Orde Baru dan Orde Lama! Prabowo dan Jokowi sama-sama anak reformasi, tidak pantas mengenakan istilah anak haram reformasi kepada salah satu atau keduanya. Mereka yang masih mempersoalkan latar belakang Prabowo dan Jokowi adalah kaum picik yang tak bisa menerima kenyataan demokrasi.
Semoga dengan berkah Ramadan, tidak ada konflik dan dendam yang menyelimuti pergelaran pilpres. Seperti Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang juga jatuh pada Ramadan dan menjadi kado terindah bagi bangsa, maka presiden terpilih Indonesia pada 9 Juli 2014, siapapun dia merupakan kado terindah bagi seluruh warga Indonesia. Selamat datang Ramadan, Indonesia akan meraih kemenangan. [***]
Penulis adalah pemerhati Politk, Ketua Bidang Ikatan Alumni Ilmu Politik IISIP Jakarta.
BERITA TERKAIT: