Pada saat itu, Cak Imin berjanji di hadapan Kiai NU dan warganya, akan menjadikan Mahfud MD atau Rhoma Irama menjadi capres dari PKB. Maka, dengan semangat tinggi, kedua capres ini pun mulai bergerilya berupaya mengumpulkan suara kaum nahdliyin yang dulu terserak.
9 April pun tiba. Hari dimana segenap doa dan harapan kaum nahdliyin untuk bisa memiliki presiden yang mewakili mereka akan tumpah-ruah. Harapan akan lahirnya pemimpin yang bisa melakukan perbaikan atas keadaan sosial ekonomi yang selama ini mereka rasa terabaikan!
9 Mei, hari penetapan suara oleh KPU pun tiba. PKB memperoleh 9.04% suara, naik hampir 100% dari hasil pemilu 2009. Warga NU dan para Kiai pun mengumandangkan takbir dan rasa syukur yang tak terkira. Harapan, tinggal selangkah lagi menjadi kenyataan. Warga NU menunggu janji Cak Imin diwujudkan. Menjadikan orang NU sebaga Presiden!
Tetapi, Cak Imin mengatakan, suara PKB tidak mungkin bisa mengusung capresnya sendiri. Warga NU pun mengangguk lugu, mengiyakan. Cak Imin kemudian berjanji akan menawarkan Rhoma Irama atau Mahfud MD menjadi cawapres partai pemenang. Dan, ketika PKB berkoalisi dengan PDIP, kaum nahdliyin pun kembali merajut harap. Harapan yang hanya satu , Mahfud MD, sebagai nahdliyin sejati, bisa menjadi cawapres. Namun, harapan hanya tinggalah harapan. Ketika koalisi PDIP memasangkan Jusuf Kalla, sang "opportunis", sebagai pasangan Jokowi pada deklarasi 19 Mei lalu, kandaslah semua harapan!
Seolah tak punya salah, dengan retorika ala Sengkuni, Cak Imin mengatakan kalau Rhoma Irama dan Mahfud MD pun sudah diajukan sebagai cawapres Jokowi. Tapi, yang dipilih memang Jusuf Kalla. Yang menyedihkan, menurut Mahfud MD, Cak Imin ternyata tidak pernah menawarkan secara resmi nama mereka. Bahkan, salah seorang elit Gerindra mengatakan, mereka pasti akan mempertimbangkan dengan seksama jika saja nama Mahfud MD ditawarkan secara resmi sebagai cawapres mewakili warga NU.
Atas kenyataan itu, para kiai pun meradang. Namun, bukanlah Cak Imin kalau tidak punya cara untuk melunakkan hati para kiai. Cak Imin, pada 25 Mei lalu di Surabaya, sebagai pengobat luka, kembali menebarkan janji,"Saya menjamin Menteri Agama dari kalangan NU kalau Jokowi-JK menang!"
Kali ini, sepertinya "Langit" ingin melindungi kaum nahdliyin dari "kebohongan". Jokowi membantah dengan keras perrnyataan Cak Imin, "Koalisi ini adalah kerja sama tanpa syarat," ujar Jokowi saat meresmikan Pasar Gondangdia, Jakarta Pusat, 28 Mei."Kita tidak ada bicara masalah menteri sampai sekarang. Tidak ada!" tegasnya.
Para Kiai "Lurus" NU kini tersadar dan mulai merenung tentang "moralitas" Cak Imin. Bagaimana mungkin, orang yang telah "mengusir" Gus Dur, keluarga dan kerabatnya dari PKB, yang menjadi guru, paman, sekaligus bapaknya, bisa menjadi tumpuan harapan kaum nahdliyin? Bagaimana mungkin, orang yang sudah melakukan "kedurhakaan", bisa dipikulkan amanah di atas pundaknya? Bagaimana mungkin, orang yang terus melakukan "kebohongan" atas warganya, bisa dijadikan pemimpin?
Para Kiai "Lurus" NU pun kemudian satu persatu mulai pergi meninggalkan PKB. Cak Imin kini sendiri dalam sepi, tak lagi berani mengumbar janji, karena pasti tak terpenuhi!
Wallahu a’lam bish-shawabi !Penulis Pengamat Spiritual