Spekulasi ini mengemuka kembali di tengah isu mengkerucutnya nama-nama calon pendamping gubernur Jakarta itu. Ada beberapa alasan yang membuat sementara kalangan percaya bahwa Mega akan mencabut mandat perintah harian itu
Saat ini, Mega dikabarkan tengah menutup pintu komunikasi rapat-rapat dengan semua pihak, kecuali dengan segelintir tokoh kepercayaannya di partai.
Jadi, segala pernyataan yang mengklaim bahwa Mega sudah menentukan salah satu nama cawapres, bisa dianggap omongan para "sengkuni".
Kabarnya, Mega sedang menjalani perenungan panjang. Mega mengevaluasi total mengapa suara partainya begitu jauh dari target. Ternyata, Jokowi effect adalah omong kosong.
Apalagi, terbukti bahwa tidak semua orang yang fanatik mendukung Jokowi menunjukkan loyalitasnya ke PDI Perjuangan. Sekjen Barisan Relawan Jokowi for Presiden (Bara JP) Utje Gustaaf Patty misalnya, ia mengaku tidak memilih PDIP pada Pileg 9 April lalu.
Sebagian pihak meyakini putri Bung Karno itu memang belum bulat menghadapi pemilihan presiden bulan Juli mendatang. Sejauh ini dia masih mengumpulkan pendapat dan saran dari golongan terdekat dengan dirinya.
Golongan terdekat yang dimaksud, siapa lagi kalau bukan keluarga besar Bung Karno? Mega sedang mengkaji putusannya dalam penetapan Jokowi sebagai capres. Kedua, bila penetapan Jokowi sudah final, maka mengenai siapa yang pantas mendampinginya.
Sudah jadi semacam rahasia umum di antara para aktivis bahwa keluarga Bung Karno tidak terlalu menyukai manuver Jokowi dan para pengikutnya. Keramahan Jokowi pada "asing" dan kekosongan visi misi pada dirinya dianggap bisa mendistorsi ajaran Bung Karno yang menjadi ideologi perjuangan partai banteng hitam.
Lagipula, apa yang ditetapkan oleh Mega dan diumumkan pada Jumat 14 Maret itu bukan mandat kepada Jokowi. Itu cuma perintah harian kepada para kader PDIP, yang diklaim Jokowi sebagai mandat. Pakar politik, Arbi Sanit, pun menyebut Jokowi sebagai "Capres Dadakan".
Kelompok loyalis Mega dan para marhaenis yang tersisa meyakini, Mega bisa sewaktu-waktu mencabut perintah harian itu dan menggantikannya dengan mandat yang dasarnya lebih kuat kepada tokoh pilihannya.
Yang menarik, tidak sedikit juga orang yang memprediksi Mega akan kembali ke Perjanjian Batutulis. Artinya, Mega akan menarik perintah harian itu dan kembali pada poin ketujuh dari isi perjanjian Batutulis.
Dalam poin ke-7 perjanjian tertulis, Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum PDIP akan mendukung Prabowo Subianto selaku Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra untuk menjadi Calon Presiden pada pemilu presiden 2014.
Perjanjian ini jadi kontroversi. Bagi elite Gerindra, harus dilaksanakan tanpa syarat. Sedangkan para tokoh PDIP menegaskan, poin itu bisa dilakukan kalau pasangan Mega-Prabowo memenangkan Pilpres 2009.
Ketika Prabowo berdampingan dengan Mega di Pilpres 2009, mereka dinilai sebagai pasangan yang memiliki paling tegas dalam ideologi perjuangan. Capres dan cawapres lainnya saat itu tidak dilihat memiliki ideologi perjuangan untuk bangsa.
Prabowo sendiri dari sejak mendirikan partai sampai sekarang, selalu menggembar-gemborkan perjuangan atas nasib kaum miskin, buruh, nelayan, petani dan warga desa yang dinilainya masih miskin. Ada yang mengatakan, keluarga Bung Karno pun lebih nyaman dengan Prabowo daripada Jokowi yang bisa merusak kemurnian ajaran Bung Karno.
Tetapi, ini semua masih di tataran pembicaraan kalangan terbatas. Soal apa isi hati Mega, mungkin cuma dia dan Tuhan yang tahu.
[ald]
BERITA TERKAIT: