Beda dengan Rieke, IMI Dukung Kapal Ikan Bertonase di Atas 30 GT Dilarang Pakai BBM Bersubsidi

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/zulhidayat-siregar-1'>ZULHIDAYAT SIREGAR</a>
LAPORAN: ZULHIDAYAT SIREGAR
  • Rabu, 05 Februari 2014, 18:28 WIB
Beda dengan Rieke, IMI Dukung Kapal Ikan Bertonase di Atas 30 GT Dilarang Pakai BBM Bersubsidi
ilustrasi
rmol news logo Surat edaran BPH Migas ter tanggal 27 Januari 2014 yang melarang kapal ikan bertonase di atas 30 Gros Ton (GT) menggunakan BBM bersubsidi menuai polemik.

Bila anggota Komisi IX DPR Rieke Diah Pitaloka menolak, bahkan memprotes keras, Indonesia Maritime Institute (IMI) mendukung. Direktur Litbang IMI Dondy Arafat bahkan mendesak pemerintah untuk tidak memberikan BBM subsidi kepada kapal ikan bertonase diatas 30 GT.

Pasalnya, kelompok nelayan tradisional yang kapalnya kecil-kecil, rata-rata hanya 5-10 GT, sangat perlu mendapatkan subsidi, buka pemilik kapal besar diatas 30 GT.

"Jika kapal-kapal besar diatas 30 GT mendapatkan BBM subsidi, nelayan tradisional yang seharusnya mendapatkan subsidi itu akan semakin miskin, karena jatah BBM-nya tersedot kapal-kapal besal milik para pengusahha besar," kata Dondy kepada wartawan, Rabu (5/2).

Bagi IMI, munculnya surat kepala BPH Migas yang melarang memberikan BBM subsidi kepala kapal ikan berbobot diatas 30 GT adalah tepat.

Namun IMI juga mengingatkan kepada BPH Migas agar memperketat pengawasan di lapangan agar yang mendapatkan BBM subsidi adalah nelayan tradisional yang semakin menderita karena harga BBM makin tak terjangkau. Ditambah dengan kondisi cuaca yang makin tidak menentu.

"Kami IMI mendapatkan banyak temuan di lapangan terjadinya banyak manipulasi pendistribusian BBM subsidi yang tidak tepat sasaran, khusunya bagi nalayan tradisional. Untuk itu, kami mengingatkan kepada BPH Migas agar jangan bermain-main dengan nasib nelayan tradisional," tandas Dondy.

Sementara sebelumnya, Rieke menilai, surat BPH Migas itu sama saja dengan membunuh nelayan. Karena menurutnya, kapal di atas 30 GT biasanya usaha patungan antara pemilik kapal dengan nelayan kecil yang menjadi ABK. Karena tidak boleh menggunakan BBM bersubsidi, para nelayan itu harus menggunakan solar industri yang harganya sudah mencapai Rp.12.294 per liter. [zul]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA