Dalam waktu tujuh hari saya di sini, kami berkeliling berbagai area di Malaysia yang ditinggali oleh TKI kita. Mulai dari perkampungan TKI bidang konstruksi bangunan di Kampung Baru dan Kepong, TKI kontrak pabrik (kilang) di Sungai Way, TKI bidang perhotelan di Sunway,pertemuan dengan berbagai organisasi profesional seperti Permai, KNPI, pelajar di Malaysia dan sebagainya. Saya pun berkesempatan untuk mengunjungi Penjara Sungai Jelok di Malaysia untuk menjenguk beberapa WNI kita yang tersandung kasus hukum di Malaysia.
Sebagai negara tetangga yang paling dekat dengan Indonesia, tidak heran jika hubungan kedua negara kerap mengalami pasang surut. Perlu kita sadari bahwa pada detik ini juga, tak kurang dari empat juta rakyat Indonesia menetap di Malaysia.
Dari jumlah tersebut sekitar 1,5 juta jiwa menetap secara ilegal atau yang sering disebut di sini sebagai penduduk "kosongan". Hal ini disebabkan oleh berbagai macam faktor seperti perbatasan kedua negara, yang relatif terbuka di mana banyak sekali titik-titik perbatasan yang tidak terjaga. Selain itu, faktor penegakan hukum yang belum optimal di kedua negara juga turut menyuburkan penduduk ilegal ini bak jamur di musim hujan.
Faktor kemiripan bahasa, kesamaan ras dan agama turut mengaburkan perbedaan kewarganegaraan di masyarakat Malaysia.
Banyaknya tenaga kerja ilegal ini lah yang kerap memberikan problematika sosial di Malaysia. Banyak kasus pemerkosaan, kriminalitas, perdagangan manusia yang melibatkan WNI kita yang tinggal secara ilegal di Malaysia.
Mengingat besarnya jumlah pekerja ilegal di Malaysia, pemerintah Malaysia secara berkala (namun tidak rutin) telah mengadakan program pemutihan TKI ilegal kepada semua tenaga kerja asing yang bekerja di Malaysia. Terakhir, program ini dilaksanakan pada tahun 2012 di mana ratusan ribu TKI ilegal mendaftarkan diri untuk menjadi TKI resmi yang memiliki work permit untuk bekerja. Program pengampunan yang memang jarang terjadi ini disambut sangat baik oleh pekerja kita di sana.
Namun antusiasme tenaga kerja asing yang sangat besar ini tidak dibarengi dengan sistem pengelolaan yang memadai baik oleh kantor perwakilan Indonesia di Malaysia maupun kantor imigrasi dan kementerian dalam negeri Malaysia. Akibatnya, banyak TKI kita yang tertipu oleh rayuan calo atau yang sering disebut di sana sebagai "agent" atau "orang tengah".
Banyak TKI kita yang pada awalnya beritikad baik untuk bekerja secara resmi, harus gigit jari ketika ribuan ringgit biaya pembuatan yang mereka setorkan ke agent lenyap tak berbekas. Yang lebih memprihatikan lagi adalah kalau sang TKI sudah menyerahkan paspornya untuk ditempelkan "work permit" sah kepada sang agent. Banyak di antara mereka yang harus kehilangan paspor karena sang agent membawa lari uang beserta paspor mereka. Jadilah mereka seorang TKI ilegal yang bahkan tidak memiliki paspor.
Contoh riil saya temukan saat saya mengunjungi penjara Sungai Jelok dan bertemu dengan Ibu NN. Penjara ini menampung banyak WNI kita yang sedang tersandung berbagai kasus kriminal, keimigrasian bahkan kasus perdangangan manusia. Ibu NN adalah seorang TKI ilegal yang sudah bekerja di Malaysia selama 10 tahun dan tidak pernah pulang ke Indonesia. Beliau sudah pernah ikut program pemutihan TKI ilegal tahun 2012 lewat bantuan seorang agent dan mendapatkan permit yang dia idam-idamkan.
Nah, bulan Oktober 2013 ini beliau ingin pulang ke Indonesia untuk menghadiri pernikahan anak perempuannya. Tak dinyana, ketika beliau telah di bandara, beliau diciduk oleh petugas imigrasi karena ternyata permit yang diberikan adalah palsu. Atas dugaan pemalsuan permit, beliau didakwa hukuman selama 4 tahun.
(Bersambung)
Penulis adalah Ketua Jaringan Tim Advokasi TKI Internasional dan anggota Indonesia Diaspora Network - Migrant Workers Task Force.
BERITA TERKAIT: