"Tapi soalnya muncul karena untuk kegiatan ini, KPU mengundang Lembaga Sandi Negara yang nota bene adalah lembaga militerm," ujar pengamat Pemilu Ray Rangkuti (Senin, 30/9).
Ada dua masalah yang ditimbulkan setelah KPU menggandeng Lemsaneg. Pertama, trauma psikologi netralitas lembaga negara di bawah presiden kalau dilibatkan dalam tahapan pemilu. Trauma psikologis ini dapat dilacak akarnya secara faktual.
"Yakni sulitnya membedakan secara tegas antara pejabat negara dengan pejabat pemerintah. Birokrasi kita tak sepenuhnya dapat berdiri independen. Sejarah hububungan dekat birokrasi-pemerintah inilah yang terbangun menjadi trauma psikologis-politis hingga sekarang," jelasnya.
Kedua, lebih-lebih lembaga yang dilibatkan adalah lembaga militer. Keraguan atas independen, tertutupnya akses terhadap data, dan kemustian menjaga lembaga-lembaga non sipil terlibat dalm Pemilu makin menjadi-jadi.
"Jadi masalahnya bukan pada programnya. Tapi pada dengan lembaga mana KPU bekerja sama. Saya sendiri berpendapat sebaiknya KPU menghindari kerja sama dengan lembaga manapun yang mendatangkan rasa tak nyaman yang luas bagi para peserta pemilu," ungkapnya.
Lebih jauh Ray menjelaskan, memastikan rasa nyaman dan merasa diperlakukan dengan adil dan jujur itu merupakan sarat awal bagi KPU membangun relasi sinergis dengan peserta Pemilu. Namun, jika di awal saja saling curiga telah muncul, hal ini akan mengendap terus hingga terbuka peluang bagi pihak-pihak untuk mencurigasi hasil Pemilu.
"Hal-hal seperti ini memang sebaiknya dihindari sejak awal. KPU perlu mencari mitra yang bisa diterima pihak untuk menjaga IT KPU dari tindakan jahat para peretas misalnya. Menjaga saling percaya dengan peserta pemilu jauh lebih utama dari mengamankan suara di program IT. Sebab, pada legalnya, kita tetap memakai hitungan manual sebagai dasar bagi penetapan hasil Pemilu," demikian Ray.
[zul]
BERITA TERKAIT: