Usaha ini dibarengi dengan pembentukan sebuah lembaga baru yang khusus menangani pelanggaran dan tindak pidana di sektor kehutanan, termasuk tindak pidana korupsi. RUU ini juga membuka peluang terjadinya korupsi atau penyalahgunaan wewenang berkaitan dengan pemberian izin-izin di bidang kehutanan, karena diskresi yang berlebihan diberikan kepada pejabat daerah.
"Hal ini jelas kontraproduktif dengan usaha pembenahan kelembagaan kehutanan
dan pemberantasan korupsi," kata Siti Rahma Mary dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kelestarian Hutan, dalam keterangan tertulisnya yang diterima redaksi (Rabu, 10/7).
Fungsi pencegahan terhadap lembaga baru dalam UU ini, kata Siti Rahma, akan menjadikannya tumpang tindih dengan Pemerintah Daerah, Kementerian Kehutanan, hingga Kementerian Pekerjaan Umum c.q Ditjen Penataan Ruang. Selain itu juga berpotensi menghalangi KPK yang sudah secara serius menegakkan hukum antikorupsi di sektor kehutanan.
"Munculnya lembaga baru yang mengemban tugas penyidikan, penuntutan, hingga eksekusi putusan akan memperumit kordinasi dan supervisi antarlembaga sehingga penegakan hukum akan semakin rumit dan terganggu. Mengingat adanya fenomena corruptors fight back, inisiatif memunculkan undang-undang ini layak dicurigai sebagai upaya melemahkan KPK," demikian Siti Rahman.
[ysa]
BERITA TERKAIT: