AJI Papua menepis pernyataan seorang jurnalis senior dalam sebuah sesi pelatihan di Jayapura beberapa waktu lalu, yang menilai peliputan wartawan Papua tentang Freeport kerap tak berimbang. Bahkan, informasi pendukung yang didapat kurang lengkap terkait keberadaan PT.FI dan permasalahannya. AJI Papua menduga, Freeport Indonesia sebagai pihak penyelenggara pelatihan tidak memberikan latar belakang yang cukup tentang situasi dan kondisi jurnalis dalam peliputan yang berkaitan dengan PT. Freeport Indonesia kepada sang jurnalis senior. Akibatnya, keluarlah pendapat yang memberikan kesan negatif pada jurnalis di Papua.
Dalam pernyataan resmi yang diterima redaksi sesaat lalu (Kamis, 4/7), AJI Papua tegaskan, pemberitaan tentang PT. Freeport Indonesia bukan hanya persoalan teknis atau kapasitas jurnalistik, namun juga persoalan sistem dan mekanisme distribusi informasi dari PT. Freeport Indonesia sendiri.
Jurnalis di Papua, terutama yang berada di Jayapura, kerap mendapat kesulitan dalam mengakses informasi tentang Freeport. Salah satu contohnya adalah saat insiden Big Gossan yang menelan banyak korban jiwa. Pihak PT. Freeport Indonesia hanya mengedarkan Media Statement pada sekelompok wartawan. Entah apa maksudnya, namun untuk perusahaan sebesar PT. Freeport Indonesia, semestinya memiliki database jurnalis di Papua yang dapat diupdate setiap saat.
Media Statement tersebut baru disampaikan kepada jurnalis lainnya setelah AJI Papua menyampaikan protes kepada Vice President Corporate Communications PT Freeport Indonesia, Daisy Primayanti, pada 15 Mei 2013. Selain itu, di saat jurnalis membutuhkan konfirmasi dan verifikasi yang cepat, rantai informasi PT. Freeport sendiri terlalu panjang dan memakan waktu hingga lebih dari 12 Jam. Bahkan bisa lebih dari 24 Jam.
Setiap informasi yang keluar dari PT. Freeport Indonesia, tampaknya harus melalui Kantor Pusat di Jakarta yang didistribusikan melalui Departemen Corporate Communications di Jakarta. Sementara PT. Freeport sendiri, memiliki cabang dari departemen ini di Jayapura. Ini tentunya menjadi masalah juga bagi jurnalis yang membutuhkan konfirmasi dan verifikasi secepat mungkin karena kebutuhan deadline beritanya.
PT. Freeport Indonesia semestinya bisa memahami kebutuhan jurnalis dan memperbaiki sistem distribusi informasinya demi kepentingan media massa dan juga kepentingannya sendiri. Apalagi saat ini sebagian besar media massa membutuhkan kecepatan dalam menayangkan informasi yang aktual.
Jika pemberitaan tentang PT. Freeport Indonesia dan permasalahannya dianggap tidak berimbang, PT. Freeport Indonesia bisa menggunakan hak jawab dan hak koreksi yang dijamin oleh UU Pokok Pers 40/1999.
[ald]
BERITA TERKAIT: