Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Jokowi dan Konsekuensi Proses Demokrasi

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/fritz-e-simandjuntak-5'>FRITZ E. SIMANDJUNTAK</a>
OLEH: FRITZ E. SIMANDJUNTAK
  • Jumat, 21 Juni 2013, 10:58 WIB
Jokowi dan Konsekuensi Proses Demokrasi
BELAKANGAN ini nama Jokowi semakin berkibar menjadi kandidat paling kuat dalam pemilihan Presiden 2014. Beberapa lembaga survei mengungkapkan data bahwa elektibilitas Jokowi semakin jauh meninggalkan kandidat calon Presiden lainnya, seperti Prabowo, Megawati, Wiranto, Aburizal Bakrie, Hatta Radjasa. Padahal mereka adalah pemimpin partai politik peserta pemilu yang menjadi pengusung calon Presiden.
 
Ada tiga komponen penting dalam proses pemilihan presiden di Indonesia, yaitu aktor, partai politik dan pemilih.
 
Komponen pertama aktor yaitu kandidat calon presiden. Nama-nama beredar di luar ketua umum partai politik cukup banyak. Selain Jokowi, ada Gita Wiryawan, Rizal Ramli, Machfud MD, Dahlan Iskan, Rhoma Irama.
 
Komponen kedua adalah partai politik. Menurut UU Pemilu, partai bisa mengajukan calon presiden kalau memenuhi 20 persen suara pada Pemilu. Kalau persentasi tersebut belum mencukupi maka diperlukan koalisi antara partai politik peserta pemilu untuk memenuhi syarat mengajukan kandidat calon presiden.
 
Komponen ketiga adalah konstituen atau pemilih itu sendiri. Pada hari H pemilihan presiden, merekalah yang akan menentukan pemimpin negara ini untuk lima tahun ke depan.
 
Untuk memenangkan pertarungan pemilihan Presiden, kesemua komponen tersebut perlu dibungkus dalam program pemasaran politik (political branding) dan ketersediaan dana yang kuat.
 
Pada pemilihan presiden tahun 2004 Partai Demokrat hanya meraih suara sebanyak 7,45 persen (8.455.225) dari total suara dan mendapatkan kursi sebanyak 57 di DPR. Dengan perolehan tersebut, Partai Demokrat harus berkoalisi dengan partai lain untuk mengajukan calon presiden yaitu SBY.
 
Beruntung popularitas aktor utamanya yaitu SBY sedang naik tajam sehingga berhasil mengalahkan petahana Megawati.  Saat itu pemilih melihat SBY sebagai anti tesa Megawati. Pemilih tidak perduli dengan status petahana Megawati atau perolehan suara Partai Demokrat dalam pemilu yang masih sangat kecil. Karena pemilih menjadi penentu siapa yang menjadi pemenang dalam kontes pemilihan presiden.
 
Salah satu faktor yang sering terlupakan oleh aktor utama calon presiden dan partai politik adalah memahami aspek psikologis pemilih. Secara psikologis setiap pemilih ingin menjadi bagian dari pemenang, terlepas dari siapa aktor utamanya.  Hal itu sangat manusiawi, karena tidak ada seorangpun yang ingin menjadi bagian dari tim yang kalah.
 
Seperti pada saat berlangsungnya kejuaraan dunia sepak bola, tim Brazil selalu menjadi salah satu favorit utama. Meskipun prestasi Brazil tahun tersebut kurang baik. Tetap saja penggemar sepakbola di seluruh dunia akan menempatkan Brazil sebagai salah pemenang. Karena mereka berharap menjadi bagian dari tim pemenang piala dunia. Penggemar sepakbola tidak ingin mengambil resiko menjadi bagian pendukung yang kalah.
 
Kondisi psikologis pemilih semacam itu secara cerdas dimanfaatkan oleh tim pemenang pemilihan presiden SBY tahun 2009 dengan mengeluarkan tema kampanye "Satu Putaran" dan "Lanjutkan". Pemilih pun secara emosional ingin menjadi bagian kandidat yang memenangkan pemilihan Presiden berlangsung satu putaran. Hasilnya dengan mudah SBY-Boediono mengalahkan kandidat lainnya hanyadalam satu putaran.
 
Kembali ke figur Jokowi sebagai aktor calon Presiden 2014. Meningkatnya elektibilitas terbangun melalui gaya kepemimpinannya yang bersahaja, fokus pada memberikan solusi aksi yang cepat pada rakyat.  Melalui gaya kepemimpinan "blusukan", masyarakat merasa terwakili oleh figur Jokowi sebagai pemimpinmereka. Jokowi berhasil membangun model kepemimpinan horizontal dan inklusif.
 
Ketika maju sebagai calon gubernur DKI, mungkin kurang dari 10 persen dari 6.9 juta juta pemilih yang pernah mengunjungiSolo dan merasakan keberhasilan Jokowi membangun Solo. Tapi kedekatan dengan hati pemilih sudah terbangun lewat bantuan media dan media sosial.
 
Ketika satu lembaga pendidikan terkemuka di Indonesia melakukan surveidan diskusi kepemimpinan di tahun 2011, nama Jokowi muncul sebagai calon paling kuat Gubernur DKI Jakarta bahkanberpotensi untuk memimpin negara ini.
 
Sejak itu popularitas Jokowi semakin meningkat tajam. Jabatan Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta sangat membantu peningkatan popularitas bahkan elektibilitas dia untuk menjadi Presiden RI 2014-2019.
 
Dengan tingkat popularitas dan elektabilitas yang begitu tinggi, bahkan figurJokowi digunakan untuk mengurangi elektabilitas Prabowo, Megawati, Aburizal Bakrie. Terutama untuk lawan politik Prabowo, maka Jokowi semakin mendapat dukungan dengan tujuanmenjegal Prabowo.
 
Dengan tingkat elektabilitas yang begitu tinggi, banyak calon Presiden lain atau partai lain bahkan dari dalam PDIP sendiriberupaya menggandeng atau bersedia digandeng oleh Jokowi untuk pemilihan Presiden 2014 mendatang.
 
Pemilihan umum dan pemilihan Presiden 2014 semakin dekat.  Persaingan partai politik merebut hati rakyat pemilih akan semakin tinggi. Segala cara akan dilakukan agar kursi parlemen dapat didominasi oleh mereka.
 
Apakah Jokowi akan muncul sebagai salah satu kandidat calon Presiden? Segala sesuatunya masih belum dapat diperkirakan saat ini. Kecuali apabila PDIP, tempat asal Jokowi berkarier politik,  melihat bahwa inilah saatnyamendeklarasikan Jokowi sebagai calon Presiden.  Sekaligus menggunakan figur Jokowi untuk membantu PDIP dalam memenangkan pemilu  2014.
 
Apapun hasilnya, dalam proses demokrasi, kita harus bisa menerima siapapun yang akan menjadi Presiden RI 2014-2019 yang akan ditentukan oleh sekitar 185 juta pemilih.  Kitapun harus bisa menerima segala kelebihan dan kekurangan yang ada dalam dirinya. Karena itu memang konsekuensi dariproses demokrasi politik.
 
*Penulis adalah sosiolog dan tinggal di Jakarta.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA