Penegasan itu disampaikan Kordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Selamet Daroyni, Jumat (14/6). "Reklamasi pantai merupakan bentuk penyingkiran masyarakat nelayan tradisional. Inilah praktek pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Negara," tegas dia.
Selamet membeberkan, diskriminasi yang dialami masyarakat nelayan semakin meningkat akibat proses pembangunan yang kian merampas wilayah perairan tradisional para nelayan. Kiara mencatat, praktek pengkaplingan dan komersialisasi pesisir pantai dan pulau-pulau kecil melalui reklamasi pantai yang tengah dijalankan di 22 kabupaten/kota di Indonesia membuat sedikitnya 18.151 kepala keluarga nelayan tradisional di 8 wilayah pesisir tergusur.
Catatan meningkatnya diskriminasi yang dialami masyarakat nelayan juga dilaporkan Dewan HAM PBB melalui Resolusi Nomor A/HRC/19/75 tentang Kemajuan Hak-hak Petani dan Masyarakat Lain yang Bekerja di Pedesaan.
Selamet menegaskan bahwa Perpres No 122/2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil jelas bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No 3/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Dalam putusan itu MK menyatakan pelarangan praktek pengkaplingan dan komersialisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Untuk itu, dengan harapan agar kehidupan masyarakat nelayan tradisional tidak semakin dimiskinkan dan terdiskriminasi, Kiara mendesak Presiden SBY untuk menjalankan putusan MK dengan mengevaluasi Perpres dan aturan terkait lainnya, serta melakukan harmonisasi kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
"Ini dalam rangka untuk memenuhi dan melindungi hajat hidup masyarakat nelayan tradisional," tandas Selamet.
[zul]
BERITA TERKAIT: