Penghargaan pada SBY Bikin Terlena, Stop Rencana Akuisisi Danamon!

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/aldi-gultom-1'>ALDI GULTOM</a>
LAPORAN: ALDI GULTOM
  • Kamis, 16 Mei 2013, 16:44 WIB
Penghargaan pada SBY Bikin Terlena, Stop Rencana Akuisisi Danamon<i>!</i>
sby/ist
rmol news logo Rencana akuisisi Bank Danamon oleh Development Bank of Singapore (DBS) Group Holding Ltd merupakan indikasi terjadinya ancaman terhadap kepentingan ekonomi perbankan nasional.

Pemerintah dan Bank Indonesia sebaiknya jangan melakukan manuver politik untuk berpihak pada kepentingan perbankan asing.

Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Arif Budimanta mengatakan, keputusan akuisisi itu tidak bisa dilakukan secara tergesa-gesa apalagi bila keputusan itu didorong oleh faktor politik tertentu antara pemerintah dan Singapura.

Dia tekankan, pemberian gelar doktor kehormatan dari Nanyang Technological University (NTU), Singapura, kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jangan sampai menggoyahkan pemimpin nasional dalam menjaga kedaulatan ekonomi Indonesia.

Beberapa hari lalu, akademisi dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Aris Yunanto, juga mengatakan, rencana akuisisi 67,37 persen saham PT Bank Danamon Tbk oleh DBS Group Holding Ltd dari Singapura yang dilakukan tanpa mengindahkan peraturan yang berlaku di Indonesia akan mengancam industri perbankan nasional. Bank Indonesia harus berpikir ulang untuk menyetujui akuisisi tersebut.

Ada indikasi kepentingan sempit di sini. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam acara Thomson Reuters Newsmaker di Singapura, Selasa 23 April 2013, berkata keputusan atas rencana akuisisi itu harus dilakukan secepatnya. Sehari sebelum mengeluarkan pernyataan tersebut, SBY mendapatkan gelar doktor kehormatan (honorary doctorate of letters) dari Nanyang Technological University (NTU), Singapura. Aris menduga, ada hubungan tidak langsung antara penganugerahan gelar doktor kehormatan tersebut dengan lobi Singapura untuk memuluskan akuisisi.

Sementara, Arief Budimanta kepada wartawan, hari ini (Kamis, 16/5) mengatakan, dirinya bukan tak menghargai apapun bentuk penghargaan yang diberikan kepada Presiden Yudhoyono.

"Tapi, penghargaan itu jangan membuat Indonesia terlena, apalagi menggadaikan kepentingan ekonomi nasional Indonesia," kata Arif kepada wartawan di Jakarta, Kamis (16/5).

Dia mengatakan, salah satu poin krusial dalam akuisisi itu adalah perlunya diterapkan asas resiprokal (timbal-balik) antara bank nasional dan bank asing. BI harus memiliki posisi tawar yang tinggi di hadapan otoritas perbankan asing.

"Daya tawar BI harus tinggi dan tidak boleh mengalah. Kalau DBS disetujui akuisisi Danamon, maka bank-bank dari Indonesia harus dipermudah jika membuka cabang dan melakukan aktivitas keuangan di Singapura dan juga negara lain," tuturnya.

Indikasi rendahnya posisi tawar di hadapan asing, kata Arif, adalah fakta bahwa direktur utama Bank Danamon adalah orang asing. Padahal, saat krisis ekonomi 1997, Danamon mengalami kesulitan likuiditas dan akhirnya oleh pemerintah ditaruh di bawah pengawasan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebagai bank yang diambil alih (BTO - Bank Take Over).

Pada tahun 1999, pemerintah melalui BPPN melakukan rekapitalisasi Bank Danamon sebesar Rp32 miliar dalam bentuk Surat Utang Pemerintah (Government Bonds).

"Artinya di situ kan ada uang rakyat. Kalau ada pembelian saham asing, mengapa bukan orang kita yang di posisi puncak? BI harus berani bicara soal  ini," tambah dia.

Karena masih tajamnya kritik terhadap rencana akuisis Danamon itu, Arif meminta BI tidak gegabah. Akuisisi, lanjutnya, jangan dilakukan saat ini karena akan menunjukkan bahwa Gubernur BI Darmin Nasution melakukan manuver politik menjelang jabatannya berakhir pada 22 Mei mendatang.

"Perlu dibahas kembali persoalan akuisisi yang masih menimbulkan pro-kontra mengingat sejumlah masalah krusial yang belum tuntas," tandasnya. [ald]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA