Sindiran itu sendiri disampaikan Gamawan dalam acara Orientasi Kepemimpinan dan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah di Badan Diklat Kemendagri, Kalibata, Jakarta Selatan, Senin kemarin.
"Indonesia, hari-hari ini memang makin sarat dengan kejadian aneh. Setelah mengukir sejarah pertama seorang mantan Jenderal (Susno Duadji,
red) dan Jenderal aktif Polri (Djoko Susilo,
red) berurusan dengan hukum karena terlibat korupsi, ada kejadian aneh lagi. Yaitu Mendagri menyindir DKI Jokowi karena beliau sering 'blusukan' alias turun ke bawah (turba)," kata pengamat politik senior AS Hikam (Kamis, 2/4).
Hikam menyebut hal tersebut aneh karena kalau pakai nalar sehat, 'blusukan,' sejatinya adalah "ngantor dengan cara yang berbeda."
"Ngantor yang biasa, ya masuk kantor dari jam 8 pagi- 5 sore. 'Blusukan' yang dilakukan Jokowi adalah 'ngantor' yang tidak dibatasi jam dan kamar kerja khusus. 'Blusukan' bisa kapan saja dan lokasinya di tempat target (rakyat). Jadi, hemat saya, Menteri yang nyinyir karena Gubernur 'blusukan' sangatlah aneh," kata Hikam.
Hikam curiga, Gamawan mengungkapkan itu karena kemampuan bergaulnya rendah. Akibatnya, Mendagri pun sering tidak mampu menyentuh (
out of touch) detak nadi masyarakat.
"Barangkali ini bisa menjelaskan kenapa Mendagri sampai hari ini masih tak kunjung mampu menyelesaikan kasus bendera Aceh. Mungkin karena beliau kurang gaul dan paham dengan orang dan daerah Aceh sehingga lebih suka menunda dan 'cooling down' ketimbang menyelesaikan secara tegas dan cepat," ungkapnya.
Karena itu, Hikam mendukung sikap Jokowi yang mencueki peringatan dari Mendagri tersebut. Jokowi tetap akan blusukan karena merasa di kantor sudah terlalu banyak. "Saya setuju dengan Gubernur Jokowi yang memilih cuek dengan sindiran Mendagri. Orang nyinyir tidak usah terlalu direken," tandas Hikam.
[zul]
BERITA TERKAIT: