Di permukaan komunikasi, bisa saja politik begitu gaduh. Namun yang terjadi sebenarnya kemesraan yang dipendam. Pun sebaliknya, bisa jadi lalu lintas informasi politik di ruang publik begitu
adem. Namun yang terjadi di belakangnya justru ada bara yang disiapkan untuk saling membakar satu sama lain.
Inilah yang terjadi di balik pengumuman daftar calon sementara (DCS) bakal caleg oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Setelah DCS muncul, banyak politisi yang gembira. Namun tidak sedikit juga politisi yang kecewa. Ada yang
sumringah karena ternyata upayanya meraih nomor satu atau dua berhasil dengan sempurna. Ada juga yang geram karena ternyata ia ditaruh di nomor sepatu, atau bahkan nomor buntut.
Di ruang publik, yang kecewa, bisa saja menyampaikan, bahwa nomor urut bukan segalanya. Alasan suara terbanyak, menjadi alasan klise untuk menyimpan sementara kekecewaan. Tapi bagaimanapun, nomot urut, adalah angka psikologis yang bisa memicu rasa percaya diri, juga rasa diapresiasi, atau rasa dihargai, oleh partai.
Maka sementara politisi yang berada di nomor urut buntut, atau berada di nomor urut yang tidak diharapkan, sudah mulai bergerak. Mereka mulai kasak kusuk ke internal partai. Bukan hanya "angin sorga" yang ditebar, namun juga ancaman.
Bagaimanapun, pendekatan
carrot and stick, adalah pendekatan yang cukup diandalkan oleh politisi, sejak zaman Republik kuno di Romawi maupun di era digital saat ini. Maka politisi yang "wortelnya" tak terlalu menggiurkan atau pujiannya tak terlalu meyakinkan, mulai menggunakan "tongkat". Macam-macam bentuknya.
Ada politisi, yang sudah duduk di Senayan, tiba-tiba dapat nomor urut dua atau tiga. Sebagai
incumbent, ia merasa tersinggung, karena partai memberi tempat terhormat, maksudnya nomor urut satu, kepada orang baru. Ia pun mengancam akan keluar dari partai, dan tak melengkapi berkas selanjutnya.
Tentu saja, dengan ancaman ini, ada elit partai yang cuek bebek, namun juga pimpinan partai yang gusar. Bagaimanapun, jelang pertunjukan di depan publik,
make-up partai harus terlihat bersih, tanpa bercak noda sedikit pun. Sebisa mungkin dan semaksimal mungkin, partai harus tetap terlihat solid. Konflik pun disebut dinamika.
Ada juga politisi yang bukan hanya mengancam, namun juga mengamuk. Ia berani mengamuk karena merasa dekat dengan lingkaran elit partai. Ia pun mulai mengeluarkan berbagai serangan, agar nomornya naik ke atas. Di antara serangan itu, misalnya, mulai membusukkan calon yang ada di atasnya.
Tentu, dalam permainan apapun, menyerang adalah pertahanan yang terbaik. Maka strategi menyerang saingan bukan hanya digunakan oleh politisi yang memiliki nomor buntut, namun juga orang oleh orang sudah mendapat nomor cantik. Tujuannya, agar nomor dia tak bergeser dan berpindah ke urutan bawah.
Maka, sejak DCS muncul, hingga jelang penetapaan daftar calon tetap (DCT) mendatang, saling cakar dan saling serang di internal partai begitu massif.
[ysa]
BERITA TERKAIT: