br />
Studi banding ini terkait revisi Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) yang saat ini sedang digodok Komisi Hukum DPR tersebut.
"Betul, memang KUHAP dan KUHP perlu studi komparatif, masukan, melihat dan mendengar secara langsung dari sumber yang menganut Eropa Konstinental," ujar Dimyati di Gedung DPR Senayan, Jakarta, Jumat (22/3).
Studi banding terutama yang menyangkut pasal santet.
"Banyak orang yang musyrik dan percaya dengan itu. Itu harus diatur supaya tidak main hakim sendiri. Mereka harus jera dan takut," jawabya.
Dimyati mengingatkan di luar negeri, termasuk negara yang sedang dituju ini, juga diatur masalah santet.
"Jangan salah, santet itu bagian daripada sihir. Sihir di zaman Nabi sudah ada, di negara luar sudah ada. Itu subnya. Ini perlu pengaturan-pengaturan. Sebenarnya bisa melalui internet, tapi kalau secara langsung kan lebih enak didengarnya dan akuntabel," bebernya.
Masih kata Dimyati yang juga Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, tidak semua anggota Komisi III DPR mengikuti studi banding tersebut. Anggota yang berangkat hanya yang ingin mendalami soal KUHAP dan KUHP.
"Yang berangkat itu setiap negara biasanya 15 orang. Mau berangkat atau tidak, silakan saja, tergantung pemikiran masing-masing," ujarnya.
Soal waktu kata Dimyati, diagendakan 14-19 April. Namun Komisi III DPR masih tetap koordinasi dengan negara setempat. "Tidak lebih dari 5 hari. 3 harian lah di sana. Saya sendiri nanti ke Inggris" pungkasnya.
Wajarkah biaya studi bandingnya Rp 3 miliar lebih?
"Tergantung tolok ukur pemikiran. Mungkin saja ada yang tidak mencerna secara dalam, tapi positive thinking-lah," jawabnya.
Direktur Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia Untuk Transparasi Anggaran (FITRA), Uchok Sky Khadafi mengatakan, kunker Komisi III kedua negara, Perancis dan Rusia akan memakan dana sebesar 2,3 miliar.
[zul]
BERITA TERKAIT: