Dengan sistem konsolidasi organisasi yang dilakukan, menurut gurubesar ilmu politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Bahtiar Effendy, terlihat adanya upaya sistematis untuk meminggirkan kader-kader Muhammadiyah di PAN. Hampir 85 persen pergantian pengurus di wilayah dilakukan dengan cara penunjukan langsung. Sayangnya, penunjukan itu lebih didominasi oleh kader-kader non-Muhammadiyah.
"Sudah tidak rahasia umum, penunjukan ketua DPW PAN selalu didasarkan pada tiga kriteria. Urutan pertama adalah kepala daerah, lalu disusul purnawirawan TNI/POLRI, dan terakhir, pengusaha," kata Bahtiar, yang juga Dekan Fisip UIN Jakarta, kepada
Rakyat Merdeka Online beberapa saat lalu (Jumat, 25/1).
Dengan ketiga kriteria itu, lanjut Bahtiar, kader-kader Muhammadiyah secara tidak langsung akan terpinggirkan. Walau banyak di antara mereka yang memiliki jaringan luas dan pintar mengelola organisasi, belum tentu diberi kesempatan. Karena itu, tidak salah bila orang menyimpulkan bahwa "darah biru" PAN bukan lagi Muhammadiyah.
Kondisi ini, masih kata Bahtiar, berbeda dengan periode Soetrisno Bachir. Pada waktu itu, masih banyak kader-kader Muhammadiyah yang duduk di kepengurusan DPP dan DPW. Dengan komposisi seperti itu, komunikasi antara DPP PAN dan Muhammadiyah tidak pernah tersumbat.
"Saya kira, saat ini PAN sudah tidak bisa lagi mengklaim sebagai partai berbasis massa Muhammadiyah. Walau terasa pahit, warga Muhammadiyah sepertinya sudah sangat memahami fenomena dan fakta-fakta ini," demikian Bahtiar.
[ysa]
BERITA TERKAIT: