“Jangan masalah mudah jadi dipersulit,†kata Presiden KPI Hanafi Rustandi di Jakarta, Jumat (21/12).
Hanafi menjelaskan, MLC merupakan konvensi internasional yang ditetapkan sidang ILO tahun 2006. Beberapa ketentuan MLC tercantum dalam regulasi nasional, antara lain dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Buku II), UU 13/2003 (Ketenagakerjaan), UU 17/2008 (Pelayaran), Peraturan Pemerintah (PP) No.7/2000 tentang kepelautan, PP No20/2010 tentang angkutan di perairan dan PP No.51/2012 tentang peningkatan SDM Pelaut yang mensyaratkan kesejahteraan.
“Sekalipun peraturan nasional Indonesia telah memuat beberapa ketentuan MLC, bukan berarti kita tidak perlu meratifikasi MLC," terangnya.
Sebab, kata dia, ratifikasi MLC dibutuhkan memperkuat peraturan nasional dan memberikan perlindungan maksimal bagi pelaut Indonesia. Dari 8 konvensi fundamental ILO (International Labour Convention) yang mendasari MLC, dua di antaranya diratifikasi pemerintah RI, yakni Konvensi ILO No. 87 tentang kebebasan berorganisasi dan Konvensi ILO 98 tentang hak berunding.
Selain itu ada beberapa konvensi ILO terkait MLC telah diratifikasi. Misalnya konvensi ILO no.100, 105, 111, 138, 182 dan konvensi ILO no 185.Untuk meratifikasi konvensi ILO itu, Hanafi menambahkan, tidak harus melalui undang-undang yang perlu dibahas DPR, tapi bisa melalui Keputusan Presiden.
Hal ini mengingat pemerintah Indonesia sebelumnya telah meratifikasi 4 Konvensi ILO dengan Keppres, yaitu ILO Conv. 88, Lembaga Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja yang diratifikasi dengan Keppres no. 36 Tahun 2002; ILO Conv. 87, Kebebasan Berserikat & Perlindungan Hak Berorganisasi yang diratifikasi dengan Keppres no. 83 Tahun 1998; ILO Conv. 69, Sertifikasi Juru Masak Kapal yang diratifikasi dengan Keppres no. 4 Tahun 1992; dan ILO Conv. 144, Konsultasi Tripartit untuk meningkatkan Pelaksanaan Estándar Perburuhan Internacional yang diratifikasi dengan Keppres no. 26 Tahun 1990.
Dijelasakannya, dalam meratifikasi konvensi internasional, protokol ILO mensyaratkan harus ada institusi pemerintah yang ditunjuk sebagai
vocal point yang wajib membuat laporan ke ILO, mulai dari persiapan, sosialisasi sampai tahap pelaksanaan, apakah itu Kemenakertrans atau Kemenhub.
Kemudian pemerintah wajib menunjuk competent authority, yaitu salah satu dari kementerian tersebut yang bertanggung jawab mengimplementasikan semua ketentuan dalam konvensi, termasuk pengawasan di lapangan.
Hanafi berharap pemerintah RI segera meratifikasi MLC. Karena, Indonesia bakal terkena sanksi internasional, jika tidak segera meratifikasi MLC yang akan diterapkan di seluruh dunia mulai Agustus 2013.
Apalagi, dari 30 negara yang meratifikasi MLC adalah Singapura dan Filipina. Tujuan Singapura meratifikasi MLC untuk meningkatkan jumlah armadanya dengan membuka pendaftaran bagi kapal-kapal asal negara yang belum meratifikasi MLC, termasuk Indonesia. Sedangkan Filipina sebagai salah satu labour supply country terbesar di dunia, berkeinginan mempertahankan lapangan pekerjaan dan memonopoli suplai pelaut ke kapal-kapal asing.
Melihat hal ini, kata Hanafi, Indonesia harus waspada. Jangan sampai kapal-kapal bendera merah putih pindah bendera ke asing gara-gara RI tidak meratifikasi MLC. Kalau ini terjadi akan menggagalkan Inpres 5/2005 tentang pemberdayaan industri pelayaran nasional.
"Selain itu, peluang bagi pelaut Indonesia bekerja di luar negeri akan tertutup. Sebab pemilik kapal tidak akan mempekerjakan pelaut dari negara yang tidak meratifikasi MLC," imbuhnya.
Di bagian lain, Hanafi menyesalkan sampai saat ini Kepmenhub tentang
ship manning agency belum diterbitkan. Padahal Kepmenhub merupakan penjabaran PP No.20/2010 sangat dibutuhkan untuk menertibkan prosedur perekrutan dan penempatan pelaut kekapal-kapal yang selama ini terjadi banyak dilanggar agen-agen perekrutan di Indonesia.
Untuk memenuhi persyaratan MLC maka setiap perusahaan akan diaudit untuk memastikan bahwa semua persayaratan MLC telah dipenuhi, termasuk manning agency. Sebagai contoh PT. Pelayaran Equinox telah diaudit oleh auditor dari DNV (Det Norske Veritas) yang ditunjuk oleh pemilik kapal.
Sementara itu, kapal-kapal Indonesia sudah mulai diinspeksi oleh Inspektur ITF, contohnya kapal milik perusahaan pelayaran Meratus, MV. Red Rover, yang diperiksa oleh ITF Inspector di Fremantle Australia. Perusahaan diperingatkan untuk segera melengkapi kapal sesuai ketentuan MLC, termasuk wajib membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dengan KPI.
[arp]
BERITA TERKAIT: