Intoleransi Meningkat, Gubernur Aceh Dianggap Membiarkan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/aldi-gultom-1'>ALDI GULTOM</a>
LAPORAN: ALDI GULTOM
  • Rabu, 24 Oktober 2012, 18:05 WIB
Intoleransi Meningkat, Gubernur Aceh Dianggap Membiarkan
ilustrasi/ist
rmol news logo Setara Institute mengecam penutupan terhadap sembilan gereja dan enam wihara di Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh, pada Senin pekan lalu (15/10).

Dalih penutupan adalah belum mengantongi izin sesuai surat keputusan bersama Menteri Agama (Menag) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), serta Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh 25/2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah.

Tak itu saja, menurut Setara Institute, sebanyak 20 tempat ibadah umat Kristiani di Singkil juga bernasib sama, disegel sejak Mei 2012. Bahkan, terjadi penghakiman terhadap pengajian Babul Ma'arif yang dianggap sesat oleh warga di Aceh Utara disertai aksi pembakaran.

"Peristiwa itu menambah daftar peristiwa dan tindakan pelanggaran kebebasan beragama dengan sasaran rumah ibadah," kata Wakil Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, dalam keterangan tertulis (Rabu, 24/10).

Setara menambahkan, selama periode Januari-Juni 2012, tercatat setidaknya 47 tindakan  dan 21 di antaranya dalam bentuk penyegelan tempat ibadah. Menurut Bonar,  berbagai peristiwa tersebut menunjukkan fakta intoleransi di Nanggroe Aceh Darussalam meningkat. Jika pada tahun-tahun sebelumnya Aceh tidak mencatatkan kasus-kasus intoleransi, kecuali kontroversi pelaksanaan syariat Islam, pada 2012 justru eskalasi semakin meningkat.

"Situasi ini, salah satunya dipicu oleh keberadaan Pergub tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah, yang secara retroaktif (berlaku surut) diberlakukan terhadap rumah-rumah ibadah yang jauh sebelum terbitnya Pergub tersebut, telah berdiri," kata Bonar.

Pergub warisan Gubernur Irwandi Yusuf itu landasan penyegelan rumah-rumah ibadah oleh warga dan aparat. Gubernur Zaini Abdullah dikecam karena hanya dengan melempar komentar bahwa penutupan rumah ibadah bukan persoalan serius.

Bonar menegaskan, pendirian rumah ibadah adalah bagian dari kebebasan menjalankan ibadah yang dijamin oleh Konstitusi RI. Karenanya, pengabaian tindakan intoleransi, kekerasan, dan pembatasan-pembatasan itu, merupakan pelanggaran HAM dan pelanggaran hak konstitusional warga negara.

Zaini Abdullah semestinya menunjukkan kepemimpinan yang tegas menyikapi intoleransi. Reputasinya di dunia internasional sebagai pegiat hak asasi manusia semestinya dapat menjadi bekal bagi pemajuan hak asasi manusia di Aceh.

Dalam keterangan persnya, Setara Institute juga mengingatkan bahwa Aceh telah menjadi sorotan internasional terkait praktik parsial penegakan syariat Islam yang justru menjauhkan akses masyarakat dari keadilan dan terkait sisa persoalan pasca konflik.

"Peristiwa-peristiwa intoleransi akan semakin memperburuk citra Aceh di mata publik nasional dan internasional yang juga akan memperburuk pemajuan HAM dan citra Indonesia. Kemendagri harus mengambil prakarsa nyata untuk mengatasi persoalan intoleransi di Aceh yang semakin meningkat," tandas Bonar. [ald]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA