"Jampidsus mandul menangani kasus ini," kata Alfian Husin SH, pensiunan Jaksa Tindak Pidana Khusus dengan jabatan terakhir sebagai Direktur Tindak Pidana Subversif Kejaksaan Agung, Jumat (21/9).
Mantan anggota Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) itu mengaku, dirinya tidak memiliki kepentingan apa pun kecuali agar kasus manipulasi tanah negara di kawasan Golf Bogor, Tegal Sapi Kota Bogor.
"Sebagai warga negara yang tahu betul adanya perbuatan criminal yang dilakukan seseorang, apakah saya harus berdiam diri. Apalagi negara diperkirakan dirugikan hingga mencapai Rp1,2 triliun," ujarnya.
Menurut Alfian, kasus ini sudah dilaporkannya kepada Jampidsus melalui Direktur Penyidikan Jasman Panjaitan pada Maret 2011. Atas laporan tersebut Direktur Penyidikan kemudian membentuk Tim Pemeriksa yang diketuai Eddi Rukmanto, dengan anggota Juhandi, DB Susanto, dan Dedi.
Dalam penyelidikannya Tim Penyidik menemukan, telah ditemukan bukti bahwa Arif Daryanto (PT Braja Mustika) telah melakukan tindakan melawan hukum dengan membalik-namakan tanah negara seluas 24 hektar yang terletak di Tegal Sapi, antara lain dengan sengaja menghapus Hak Pemilikan Lahan (HPL) menjadi milik pribadinya. Hal ini jelas merupakan tindakan melawan Undang-undang, sehingga kasus ini ditingkatkan menjadi penyidikan.
Namun dalam gelar perkara yang dilakukan Tim Pemeriksa, berkesimpulan bahwa kejadian perkara pada tahun 1993 itu telah kedaluwarsa. Tim Pemeriksa pun kemudian menghentikan penyidikannya sesuai ketentuan pasal 78 KUHP.
"Saya tidak sependapat dengan kesimpulan itu, karena perbuatan yang dilakukan bos Braja Mustika itu merupakan perbuatan berlanjut, voortgezette handling," katanya.
Arif Daryanto dinilai telah melakukan korupsi yang merupakan melakukan perbuatan yang dilarang sebagai perbuatan berlanjut, dimana perbuatannya dilakukan secara bertahap. Perbuatan yang dimaksud antara lain: mengajukan hak kepemilikan tanah kepada Pemda Kota Bogor, pembuatan sertifikat HGB, mendirikan bangunan berupa ruko, hotel dan properti lainnya, menjual belikan bangunan di atas kepemilikan tanah yang tidak sah sehingga memperoleh keuntungan dari jual beli tersebut.
Disinggung mengenai histori tanah tesebut, Alfian menjelaskan, lahan yang di atasnya dibangun lapangan golf itu, merupakan hasil rapat Muspida Kabupaten dan Kota Bogor pada tahun 1983. Muspida secara formil telah menyerahkan tanah negara yang berasal dari pembebasan tanah itu kepada Panitia Pengembangan Lapangan Golf, untuk dibangun lapangan golf dari sembilan hole menjadi 18 hole.
"Sebagai Kepala Kejaksaan Bogor waktu itu, saya diserahi tugas menjadi Wakil Ketua Panitia. Jadi, saya tahu betul riwayat tanah tersebut," tandanya.
Namun dalam perjalanannya, Ketua Panitia Kolonel Gatot (Komandan Pusdiksi Bogor) meninggal, sementara Alfian selaku wakil ketua dimutasikan sebagai Kapala Bagian Teritorial Bidang Intelijen di Kejaksaan Agung.
"Karena kesibukan dan mendapat tugas berpindah-pindah, tugas di kepanitiaan pembangunan lapangan golf itu tidak terpegang, dan tidak pernah menginjakkan kaki di lapangan golf tersebut. Tapi, pada tahun 2007 saya diajak bermain golf oleh pengurus golf yang baru, dan alangkah terkejutnya ketika melihat tanah yang diserahkan Pemda kepada Panitia Pengembangan Lapangan Golf tersebut oleh Arif Daryanto telah dibangun perumahan, vila hotel dan ruko," jelasnya.
Alfian berharap, Jaksa Agung Basrief Arief memberikan perhatian serius terhadap kasus ini, mengingat kerugian negara tidak sedikit.
"Mudah-mudahan, Jaksa Agung memiliki komitmen yang kuat dalam pemberantasan korupsi. Jika memang Jamwas marwan Effendi menemukan adanya indikasi yang tidak benar dalam mengungkap kasus ini, siapa pun yang salah harus ditindak," tegasnya.
[dem]
BERITA TERKAIT: