Ada empat hal yang dikritisi sebagian anggota DPR dan kalangan pengamat pertahanan saat itu. Pertama adalah tonase Main Battle Tank itu yang 63 ton, dianggap tak cocok dengan geografi di Indonesia. Kedua, harganya yang mahal, padahal cuma tank bekas (2,5 juta euro per unit). Ketiga, tidak ada transfer of technology (TOT) dengan Badan Usaha Milik Negara Industri Pertahanan (BUMNIP) Indonesia. Keempat, tak sesuai dengan Renstra yang ada .
"Lalu dalam rapat Komisi I pada 16 Agustus lalu, Komisi I mendapat penjelasan dari tim kecil Kemenhan yang ditunjuk mempelajari masalah MBT Leopard , dalam rapat itu diinformasikan empat hal," kata pimpinan Komisi I DPR, Mayjen (Purn) TB Hasanuddin, kepada
Rakyat Merdeka Online, Jumat (24/8).
Empat hal itu, pertama, TNI tidak jadi membeli tank bekas dari Belanda (2,5 juta euro per unit), tapi akan membeli tank baru dari Jerman seharga kisaran 700.000 sampai 1,5 juta euor ( tergantung Sista yang dipasangnya).
Kedua, pembelian murni
G to G dan tak melibatkan makelar alias rekanan atau pihak ketiga . Ketiga, kabarnya, tonase dipilih yang berbobot 40 ton saja alias Medium Tank (sesuai Renstra TNI).
Keempat, karena langsung dari pabrik maka melibatkan BUMNIP seperti PT Pindad dan lainnya dalam TOT-nya.
"Dengan informasi seperti itu maka Komisi I menganggap sudah tak ada masalah lagi dengan rencana pembelian tank Leopard tersebut, tapi memang perlu dikonfirmasi langsung lagi dengan Kemenhan dan TNI, dan akan kita klarifikasi pada kesempatan pertama ASAP," tandasnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: