Akibat beban pembayaran utang yang teramat besar, APBN terancam tidak mampu menjadi lokomotif pembangunan. Ironisnya, pada saat yang sama, pemerintah justru mati-matian mengurangi, bahkan mencabut, subsidi bahan bakar minyak (BBM) karena dianggap mendistorsi pembangunan ekonomi.
Dalam rilis yang diterima redaksi beberapa saat lalu, Sekjen Asosiasi Pembayar Pajak Indonesia (APPI) Sasmito Hadinegoro, mengatakan, fakta itu adalah bentuk ketidakadilan yang luar biasa. Untuk mensubsidi perbankan, pemerintah rela mengguyurkan uang pajak sebesar Rp 60 triliun setiap tahun. Sebaliknya, pemerintah justru selalu berniat menghapuskan subsidi BBM.
"Sebagai pembayar pajak, saya tidak rela uang rakyat dipakai mensubsidi para bankir yang sudah sangat kaya raya. Karenanya, pemerintah harus segera menghentikan pembayaran bunga OR sebesar Rp 60 trilliun setiap tahun," kata Sasmito dalam diskusi terbatas yang digelar di kawasan Tulodong Atas, Jakarta Selatan (Rabu siang, 16/5).
Diskusi itu juga menghadirkan mantan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (2001-2004) Kwik Kian Gie, dan Menteri Keuangan (2001) Rizal Ramli, sebagai narasumber.
OR adalah piutang bank-bank yang telah menjadi milik pemerintah kepada pemerintah. Dalam arti lain, pemerintah berutang kepada bank-bank yang dimilikinya sendiri. Sejarah OR bermula saat kriris moneter menerjang pada 1998. Kala itu banyak perbankan Indonesia kolaps. Untuk menyelamatkan bank-bank tersebut, pada 1999 pemerintah menyuntikkan modal (merekapitalisasi) dalam bentuk OR dengan dana mencapai Rp 655 triliun.
Tiga staf sekretariat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yaitu Gatot Arya Putra, Ira Setiati, dan Damayanti di tahun 2002 mengembangkan enam skenario tentang pembengkakan kewajiban pemerintah untuk membayar cicilan utang pokok dan bunganya. Skenario terbaik ialah kalau setiap lembar OR dapat dibayar tepat pada waktunya. Dalam hal ini, kewajiban pemerintah akan mencapai Rp 1.030 triliun. Jumlah ini terdiri atas Rp 430 triliun utang pokok dan Rp 600 triliun untuk bunga.
Skenario terburuknya, jika terjadi penundaan pembayaran setiap lembar OR yang jatuh tempo, maka jumlah kewajiban pemerintah akan membengkak luar biasa besar, hingga jumlah mencapai Rp 14.000 triliun. Karena analisis mereka yang dimuat di majalah BPPN itu, ketiganya jutru dipecat.
[ald]