Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Demokrasi Era Reformasi Gagal Lahirkan Pemimpin Tangguh

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/zulhidayat-siregar-1'>ZULHIDAYAT SIREGAR</a>
LAPORAN: ZULHIDAYAT SIREGAR
  • Rabu, 09 Mei 2012, 20:48 WIB
Demokrasi Era Reformasi Gagal Lahirkan Pemimpin Tangguh
syahganda nainggolan/ist
RMOL. Perkembangan demokrasi di Indonesia setelah memasuki era reformasi dipandang gagal melahirkan pemimpin tangguh dengan karakter nasionalisme yang diharapkan, sehingga menjadikan kemartabatan nasional dan kesejahteraan rakyat sulit diupayakan. Akibat itu pula, posisi kesetaraan bangsa semakin melemah di antara negara-negara lain yang telah mencapai kemajuan.

"Dengan Malaysia saja kita kalah baik dalam menunjukkan corak nasionalisme maupun gaya kepemimpinan bangsa yang dapat melindungi rakyat dan negaranya. Padahal Malaysia hampir sepenuhnya belajar tentang nasionalisme dari Indonesia," jelas Ketua Ketua Dewan Direktur Sabang-Merauke Circle (SMC), Syahganda Nainggolan, saat berbicara pada seminar "Mencari Format Ideal Kepemimpinan Bangsa Berwawasan Kebangsaan," yang diadakan Universitas Krisnadwipayana (Unkris) di Jakarta, Rabu (9/5).

Selain Syahganda, tampil pembicara di antaranya Rektor Unkris Lodewijk Gultom,

Selamat Menunaikan Ibadah Puasa
Ketua Umum Forum Komunikasi Putra-putri Purnawirawan Indonesia (FKPPI) Pontjo Sutowo, serta mantan Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana (Purn) Slamet Subianto.

Seharusnya, tambah Syahganda, dengan pengalaman cukup panjang dalam melaksanakan sistem demokrasi sejak masa Orde Lama, Indonesia tidak perlu mengalami kesulitan dalam menemukan basis pemimpinnya yang mampu membawa panji-panji nasionalisme bangsa, di samping memiliki kesetaraan internasional sebagaimana kemunculan Soekarno, Sjahrir, atau Mohammad Natsir di masa lalu.

"Sebab, era reformasi membuka peluang untuk melahirkan para pemimpin bangsa yang tangguh, meski untuk sekian waktu lamanya saat rezim Soeharto, pelaksanaan demokrasi mengalami keterpasungan melalui kepemimpinan yang otoriter," katanya.

Ia menambahkan, era reformasi pernah menempatkan Bacharuddin Jusuf Habibie, sebagai kepala negara yang dinilai cekatan mengatasi persoalan bangsa dan diakui kelayakannya secara internasional.

Namun karena kepemimpinannya begitu singkat serta tidak didukung kekuatan politik memadai, masa Presiden BJ Habibie itu seakan terlupakan hingga peran dan visi nasionalismenya terabaikan.

Syahganda menegaskan, kesulitan mencari pemimpin yang mumpuni merupakan kesalahan bersama khususnya di tingkat elit, yang tidak fokus pada agenda regenerasi kepemimpinan bangsa, termasuk tidak peduli terhadap proyeksi untuk menampilkan lapisan kaum muda guna memimpin bangsa.

Kalangan elit, lanjutnya, lebih berorientasi dalam mengejar kekuasaan yang berciri oligarkis, dan sekadar menghabiskan tenaganya untuk membela kelompok kecilnya walau terjerat berbagai kasus ’memalukan’.

"Sementara bangsa-bangsa lain yang mengedepankan agenda demokrasinya telah cukup serius melahirkan kepemimpinan muda seperti Clinton dan Barrack Obama di Amerika Serikat, atau Thailand maupun Rusia yang juga tergolong berkomitmen penuh pada kepemimpinan berusia muda," ungkapnya.

Karena itu, Syahganda mengharapkan lapisan elit tidak boleh melupakan agenda kaum muda untuk kepemimpinan bangsa ke depan, dengan mengihtiarkan potensi atas unsur-unsur kepemudaan yang pantas di pentas nasional.

"Dalam pengertian watak kemudaannya tidak anti demokrasi, berjiwa nasionalis dan berintegritas luhur, serta dapat menciptakan kesejahteraan rakyat sekaligus sanggup menjayakan bangsa dalam pergumulan bangsa-bangsa maju di dunia," terang kandidat doktor ilmu kesejahteraan Universitas Indonesia ini  [zul]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA