Di Lumbung Pangan Kok Banyak yang Kelaparan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ruslan-tambak-1'>RUSLAN TAMBAK</a>
LAPORAN: RUSLAN TAMBAK
  • Minggu, 29 April 2012, 21:41 WIB
Di Lumbung Pangan Kok Banyak yang Kelaparan
ilustrasi/ist
rmol news logo Persoalan pangan Indonesia telah berkembang sedemikian pelik dan kompleks. Mulai dari akses rakyat terhadap bahan pangan yang lemah, sikap negara yang angin-anginan menghadapi praktik spekulasi dan permainan harga pangan, pengadaan bibit lokal yang tak memadai, sampai impor pangan yang dijadikan pekerjaan utama ketimbang memproduksi hasil pangan sendiri.

"Dikatakan kita lumbung pangan, tapi masih banyak rakyat yang mengalami gizi buruk dan kelaparan. Penyakit anemia (kurang darah) pun banyak diderita kaum perempuan," kata Ketua Umum Solidaritas Perempuan, Wahidah Rustam, di Jakarta, Minggu siang (29/4).

Wahidah Rustam berbicara dalam sebuah diskusi bertema "Mengenal Lebih Dekat UU Pangan Berkadilaan Gender" yang digelar di Bakoel Koffie Jakarta, (29/4).

Dia mengutip Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 yang menegaskan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

"Penghidupan yang layak ini termasuk di dalamnya hak kedaulatan rakyat atas pangan," ujar Wahidah lagi.

Tapi apa daya, masih banyak warga negara yang kelaparan padahal tinggal di sebuah negara yang kaya raya.

Situasi ini, sebut Wahidah, tidak lepas dari ketergantungan Indonesia pada berbagai perjanjian bilateral dan multilateral yang merugikan. Perjanjian tak adil ini berdampak pada kehidupan petani, nelayan, masyarakat adat dan secara khusus terhadap perempuan yang sangat dekat dengan persoalan pangan.

Dia juga mengutip data tahun 2009 yang menyebutkan bahwa sekitar 150 juta orang Indonesia mengalami kelaparan. Di tahun 2010, Direktorat Bina Giji Kementerian Kesehatan mencatat kasus balita bergizi buruk mencapai angka 43.616 kasus.

Sayangnya, sambung Wahidah, RUU Pangan yang telah dibahas Komisi IV DPR RI dan akan segera diundangkan masih jauh dari sempurna sehingga bisa menjawab persoalan politik pangan Indonesia. Di dalam RUU itu masih ditemukan pasal-pasal yang berpihak pada sistem pasar global.

"Tidak ada asal tentang perlindungan terhadap benih lokal, misalnya. Dan ini menjadi ancaman terhadap hilangnya pengetahuan dan pengalaman perempuan atas penguasaan dan pengelolahan benih," ujar Wahidah.

Bahkan RUU Pangan ini belum meletakkan UU 7/1984 tentang ratifikasi konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, juga UU 5/1960 tentang poko-pokok agraria sebagai dasar yuridis UU Pangan. Kedua UU ini penting dijadikan acuan demi menjamin keadilan sosial dan keadilan gender dalam hal pangan. [guh]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA