Demikian dikatakan pakar psikologi politik dari Universitas Indonesia, Hamdi Muluk. Dia menanggapi proses politik bertele-tele di DPR dalam memutuskan kebijakan terkait subsidi BBM yang berakhir dini hari tadi. Ujungnya, DPR setuju kenaikan BBM dengan syarat harga minyak mentah (ICP) naik 15 persen dari asumsi dalam APBN-P 2012. Setelah melalui lobi-lobi alot, Fraksi Demokrat, Golkar, PPP, PAN, dan PKB kompak memilih opsi kedua itu.
"Bersedih hati melihat proses politik yang hari ke hari bukan maju tapi mundur. Andai saja persoalan (BBM) itu dibahas tanpa kepentingan politik parpol," kata Hamdi di acara Polemik Sindo Radio di Warung Daun Cikini, Jakarta, Sabtu (31/3).
Kebijakan terkait BBM sebenarnya mudah dibentuk dengan kajian akademik. Orang-orang yang paham hitung-hitungan itu, menurut Hamdi, seharusnya dilibatkan lebih jauh dalam perdebatan akademik.
"Mereka paham hitung-hitungan itu tanpa kepentingan politik. Ternyata semua menariknya ke politik, menghitungnya bukan objektif dan akademik," tambahnya.
Dia juga sayangkan mengapa pertarungan kebijakan BBM terlalu dikotomis antara naik atau tidak naik.
"Padahal semuanya bisa dihitung secara teknokratis. Yang cantik itu harusnya dua pihak eksekutif-legislatif adakan debat akademik, dibuka opsi-opsi itu. Tapi yang terjadi adalah opsi politik lebih dulu lalu kajian itu dimanipulasi," paparnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: