"Normatif saja pidato SBY itu. Kita tak bisa hukum orang kalau tak punya salah. Kalau berhentikan Anas begitu saja sama saja menghukum Anas tanpa dasar," kata pakar hukum Margarito Kamis kepada
Rakyat Merdeka Online, sesaat lalu (Selasa, 7/2).
Tapi Margarito menyesalkan, mengapa Presiden SBY mencampur persoalan etika di internal partai mereka dengan penanganan hukum di Komisi Pemberantasan Korupsi.
"Soal nasib Anas itu kan persoalan di dalam mereka, tapi jangan bilang tunggu KPK. Tetapkan Anas tersangka atau tidak, dengan berhentikan Anas dari Demokrat, itu dua hal beda," ujarnya.
Dia berharap, KPK di bawah pimpinan Abaraham Samad dan kawan-kawan, tidak menganggap apa yang disampaikan SBY itu. KPK harus buktikan independen, bekerja tanpa panduan politik dari manapun termasuk dari orang sekelas Presiden.
"Pernyataan SBY itu yang melempar bola ke KPK, itu jelas panduan politik. Dia bicara isu politik internal partai mereka, tapi pada saat itu juga serahkan ke KPK," ucapnya.
Menurut doktor hukum ini, demikianlah cara politisi lihai melakukan intervensi politik tingkat tinggi.
"Inilah cara intervensi politik tingkat tinggi, yang harusnya tak dilakukan SBY. Lebih baik itu dilakukan untuk jaksa dan polisi yang ada di bawah komando dia langsung," tegas Margarito.
Di kediaman SBY di Cikeas, Cibubur, Jawa Barat (Minggu petang, 5/2), dia menegaskan bahwa proses hukum di KPK akan menentukan nasib Anas Urbaningrum.
"Beberapa kali ketua umum Partai Demokrat menyatakan bahwa tidak bersalah dan tidak terlibat dalam semua dugaan korupsi yang sekarang sedang ditangani oleh KPK. Korupsi dan juga dugaan
money politics. Saya pegang teguh kata-kata dan pernyataan itu. Kecuali kalau KPK menentukan lain nantinya," kata SBY.
[ald]
BERITA TERKAIT: