Pasalnya, keberadaan Densus Anti Teror yang sudah diturunkan untuk melakukan
sweeping terhadap warga di Kecamatan Lambu, Sape dan Langgudu, Kabupaten Bima, pada Jumat malam dan Sabtu dinihari itu bukan saja melampaui wewenangnya, namun juga akan memperkeruh situasi di Bima.
"Penarikan supaya dapat dicegah bentrokan maupun bentuk tindakan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang yang melanggar hak-hak manusia, atau bentuk tindakan lainnya yang berbahaya serta meresahkan rakyat setempat," kata Sekretaris Badan Pengurus Nasional PBHI Suryadi Radjab dalam keterangan resminya kepada redaksi (Sabtu, 28/1).
Suryadi menambahkan, pasukan Densus Anti Teror tidak dibutuhkan terjun untuk menangkap 52 orang yang dilepaskan massa dari penjara atau Rutan sesudah peristiwa pembakaran Kantor Bupati Bima, Kamis kemarin (26/1). Tindakan pasukan ini bisa dinilai telah melampaui wewenangnya sebagai pasukan unit anti teror.
Suryadi mengingatkan, pada dasarnya sebanyak 44 orang di antara mereka yang telah dilepaskan itu adalah korban penembakan dan penyerangan pasukan polisi pada 24 Desember 2011 di kawasan Pelabuhan Sape. Namun para korban ini justru menjadi tersangka dan mereka pun sudah lebih 20 hari dirampas kemerdekaannya oleh Polres Bima dengan perpanjangan penahanan.
Sementara terkait peristiwa pembakaran kantor bupati, kata Suryadi, PBHI telah menerima informasi, bahwa warga yang tergabung dalam Forum Rakyat Anti Tambang (FRAT) tidak terlibat dalam aksi pembakaran, ketika melancarkan aksi dan tuntutan pencabutan SK Bupati Bima No.188/2010 tentang Izin Usaha Pertambangan. Dengan demikian, polisi harus mencari pelaku pembakaran dari pihak lain.
Mengapa pasukan Densus Anti Teror itu tidak diperlukan? Suryadi mengatakan alasannya. Pertama, target operasi bukanlah orang-orang yang melakukan kejahatan terorisme, melainkan mereka yang mengekspresikan hak atas kebebasan berpendapat dengan protes SK Bupati Bima. Kedua, dapat menimbulkan kebencian warga terhadap Densus Anti Teror melalui pengerahan pasukan, dengan mengalihkannya ke Densus, karena mengesankan mereka sebagai pelaku kejahatan terorisme. Ketiga, dapat mengesankan bahwa Densus Anti Teror telah mengambil alih komando Polres Bima dan Polda NTB. Keempat, mendatangkan pasukan Densus Anti Teror yang diongkosi itu juga tidak menghemat biaya operasi kepolisian. Kelima, masuknya pasukan Densus Anti Teror justru dapat memperkeruh situasi.
Pimpinan kepolisian, katanya, tidak boleh bermain-main dengan skenario "menumpukkan" dugaan kesalahan kepada warga dalam kaitannya dengan tuntutan pencabutan SK Bupati dan rentetan peristiwa pasca Tragedi Sape.
"Polisi harus mau menarik pelajaran dari cara-cara atau prosedur menangani aksi pendudukan Pelabuhan Sapedengan penembakan dan perlakuan keji atau bentuk-bentuk perampasan kebebasan yang berbahaya, protes-protes warga sebelumnya, sampai peristiwa pembakaran Kantor Bupati," pungkas Suryadi.
[dem]
BERITA TERKAIT: