Penahanan Warga Bima Legitimasi Kekerasan Baru Oleh Presiden SBY!

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ade-mulyana-1'>ADE MULYANA</a>
LAPORAN: ADE MULYANA
  • Rabu, 18 Januari 2012, 00:30 WIB
Penahanan Warga Bima Legitimasi Kekerasan Baru Oleh Presiden SBY<i>!</i>
sby/ist
RMOL. Penggunaan kekuatan Kepolisian dalam merespons  tuntutan masyarakat terhadap dikeluarkannya Izin Usaha pertambangan kepada PT. Sumber Mineral Nusantara di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) tidak hanya terhenti kepada penggunaan kekerasan fisik dan senjata api yang menewaskan 3 orang dan 47 orang korban luka tembak.

Saat ini setidaknya terdapat kurang lebih 40 orang menjadi tersangka dan 38 orang ditahan karena dianggap melakukan tindak pidana.

Bagi Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), penangkapan dan penahanan ini justru menjadi motif untuk melegitimasi penggunaan kekerasan baru yang dilakukan oleh aparatur negara.

PBHI yang selama ini mendampingi hak tersangka dan terdakwa, khususnya ketika memperjuangkan haknya, berpendapat bahwa Pemerintah tidak benar-benar memberikan ruang demokrasi bagi rakyat untuk menyuarakan pendapat dan memperjuangkan hak asasi manusia. Kawalan ketat aparatur negara dan moncong senjata yang diarahkan kepada pengunjuk rasa menegasikan jaminan pemerintah atas hak menyampaikan pendapat dimuka umum dan berkumpul secara damai.

"Kehadiran aparat bersenjata cenderung menjadi ancaman dan memicu kekerasan serta tindakan anarkis," kata Ketua Badan Pengurus Nasional PBHI, Angger Jati Wijaya dalam keterangan resminya kepada redaksi (Selasa, 17/1).

Kedua, kata dia, Kepolisian cenderung menggunakan celah dalam sistem hukum, yang menjebak para pengunjuk rasa untuk masuk dalam tindak pidana dan mengintrodusir kasus kekerasan menjadi kasus pidana yang dikenakan kepada para pengunjuk rasa, serta justru membebaskan mereka yang secara nyata melakukan kekerasan.

Ketiga, penahanan warga Bima yang menjadi tersangka seharusnya ditangguhkan terlebih dahulu sampai adanya kejelasan kesalahan yang dilakukan negara terhadap penanganan aksi unjuk rasa di Bima itu. Sumber kebijakan, relasi koruptif institusi Kepolisian, rantai komando penanganan pengunjuk rasa dengan kekerasan, hingga penyalahgunaan wewenang, kekerasan dan senjata di lapangan harus direkonstruksi secara terbuka dan runtut demi dan bagi penegakan hukum serta hadirnya keadilan substantif atas nama korban.

Keempat, lembaga pengawas kewenangan aparatus negara seperti, DPR, Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial seharusnya berperan aktif dalam mengawal kasus ini. "Sebab ada potensi pengalihan isu kekerasan yang dilakukan aparatur negara ke area tindak pidana yang dilakukan pengunjuk rasa," katanya.

Terakhir, imbuh Angger, Negara harus mengevaluasi penggunaan kewenangan aparatur negara untuk melakukan penangkapan dan penahanan, karena melalui pengalaman banyak kasus kewenangan tersebut menjadi alat pesanan para pihak yang anti Hak Asasi Manusia, Penegakan Hukum dan hadirnya institusi penegak hukum yang profesional dan dewasa. [dem]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA