Bisakah Merpati Hidup Lagi

Oleh: Dahlan Iskan

Rabu, 28 Desember 2011, 15:05 WIB
<i>Bisakah Merpati Hidup Lagi</i>
dahlan iskan
KADANG libur itu penting. Di hari tan­pa kesibukan itulah persoalan yang rumit bisa dibicarakan secara men­dasar, detil dan habis-habisan. Mi­salnya di hari libur Sabtu lalu. Se­la­ma enam jam penuh bisa mem­bi­ca­rakan rumitnya persoalan Merpati Nu­santara Airline. Tidak hanya di­reksi dan komisaris yang hadir, tapi ju­ga seluruh manajer senior. Ruang rapat sampai tidak cukup sehingga pin­dah ke ruang tamu yang secara kilat dijadikan arena perdebatan.

Meski saya yang memimpin rapat itu, tapi tidak ada hirarkhi di situ. Segala macam jabatan dan predikat saya minta ditanggalkan. Tidak ada menteri, tidak ada dirut, tidak ada ko­mi­saris dan tidak ada bawahan. Se­mua sejajar sebagai orang bebas. Du­duknya pun tidak diatur dan tidak te­ratur. Operator laptop dan pro­yek­tor­nya sampai duduk di lantai. Ke­betulan saya juga hanya pakai kaus dan celana olahraga. Belum mandi pula. Baru selesai berolahraga ber­sa­ma 30.000 karyawan dan keluarga Bank Rakyat Indonesia se Jakarta memperingati ultah mereka ke 116 yang gegap gempita.

Pindah dari acara BRI ke acara Merpati pagi itu rasanya seperti pindah dari surga ke Marunda. Dari perusahaan yang labanya Rp 14 triliun ke perusahaan yang ru­ginya tidak habis-habisnya. Dari jalannya operasi saja Merpati su­dah rugi besar. Apalagi kalau ditam­bah beban-beban hutang­nya. Tiap bulan pendapatannya ha­nya Rp 133 miliar. Pengelua­ran­­nya Rp 178 miliar. Pesawat­nya tua-tua. Sekali dapat yang baru MA 60 pula.

Suasana kerja di Merpati pun sudah seperti perusahaan yang no hope!

Maka jelaslah bahwa persoalan Merpati tidak bisa diselesaikan dengan cara biasa.

Restrukturisasi perusahaan de­ngan cara yang modern sudah di­coba sejak dua tahun lalu. Belum ada hasilnya ��"bahkan tanda-tan­da­nya sekali pun. Upaya restruk­turi­sasi ini telah menghabiskan ener­si luar biasa. Lebih-lebih meng­habiskan waktu dan ke­sempatan.

Panjangnya proses pengadaan pesawat Tiongkok MA 60 mem­buat peluang lama hilang begitu saja. Rute-rute yang kosong yang semula akan didahului diisi oleh MA 60 terlanjur dimasuki Wing dan Susi Air yang lebih kom­pe­titif. MA 60 yang menurut para pi­lot merupakan pesawat yang bagus, lebih berat lagi bebannya se­telah terjadi kecelakaan di Kai­mana. Peristiwa yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kua­litas pesawat itu ikut mem­buat Merpati ibarat petinju yang sudah sempoyongan tiba-tiba terkena pukulan berat.

Sebelum kecelakaan Kaimana, penumpang sebenarnya lebih senang naik MA 60. Pesawat ini sengaja didesain untuk negara tro­pis. AC-nya sudah bisa ber­fungsi sejak penumpang masuk pesawat. Tidak seperti pesawat ba­ling-baling lain yang panas uda­ra kabinnya luar biasa dan baru berkurang setelah beberapa menit di udara.

Merpati memang sering kehi­langan momentum. Bahkan se­perti sudah kehilangan momen­tum sejak dari lahirnya. Ketika per­tama kali dipisahkan dari Ga­ruda, pesawat-pesawatnya diam­bil tapi hutangnya ditinggalkan. Be­ban-beban lainnya juga me­numpuk. Semua itu enak seka­li di­jadikan kambing hitam oleh ma­najemennya. Setiap mana­je­men yang gagal punya alasan pem­benarannya. Kadang mana­jemen lebih sibuk mengum­pul­kan kambing hitam daripada be­kerja keras dan melakukan effisiensi.

Benarkah tidak ada hope lagi di Merpati?

Itulah yang melalui forum di hari libur Sabtu lalu ingin saya keta­hui. Terutama sebelum saya membuat keputusan yang tragis: ditutup! Segala macam usaha sudah dilakukan. Dua bulan lalu sebe­narnya saya sudah menye­der­hanakan manajemen Merpati. Jabatan wakil dirut saya hapus. Jumlah direktur saya kurangi. Agar manajemen lebih lincah. Juga terbebas dari beban spiko­logis karena wakil dirutnya lebih senior dari sang dirut. Rupanya be­lum cukup. Saya harus masuk lebih ke dalam. Tiba-tiba saya ke­pingin dialog langsung. Dialog yang intensif dan tanpa batas. Dialog dengan jajaran yang lebih bawah. Di masa lalu saya sering mendapat pengalaman ini: banyak ide bagus justru datang dari orang bawah yang langsung bekerja di lapangan. Bukan dari konseptor yang bekerja di bela­kang meja.

Memang ada rencana peme­rintah dan DPR untuk membantu keuangan Merpati Rp 561 miliar. Tapi akankah uang itu nanti ber­manfaat? Atau hanya akan ter­bang terhambur begitu saja ke udara? Seperti ratusan miliar uang-uang negara sebelumnya?

Tentu saya tidak ingin seperti itu. Harus ada jaminan ini: de­ngan suntikan tersebut Merpati bi­sa hidup dan berkembang. Ti­dak seperti suntikan-suntikan uang ratusan miliar di masa lalu. Ini juga harus menjadi uang te­rakhir dari negara untuk Merpati. Sudah terlalu besar negara terus menyuntik Merpati, dengan hasil yang masih begitu-begitu saja.

Maka saya kemukakan terus terang di forum itu: daripada uang Rp 561 miliar tersebut akan ter­hambur ke udara begitu saja dan karyawan pada akhirnya akan kehilangan pekerjaan juga, lebih baik Merpati ditutup sekarang ju­ga. Uang itu bisa dibelikan kebun kelapa sawit. Tiap karyawan men­dapat pesangon 2 ha kebun sawit. Orang Riau punya dalil: satu keluarga yang punya kebun sawit 2 ha, sudah bisa† hidup bisa sampai menyekolahkan anak ke ITB! Memiliki kebun sawit 2 ha lebih memberikan masa depan daripada terus menjadi karyawan Merpati.

Tentu ide ini membuat perte­muan heboh. Sekaligus membuat peserta pertemuan tertantang untuk menolaknya. Mereka tidak rela kalau Merpati harus mati. Ke­bun sawit bukan bandingan un­tuk masa depan. Ok. Saya se­tuju. So what? Kalau dari opera­sio­nalnya saja sudah rugi, masih adakah alasan untuk mem­perta­hankannya?

Maka saya ajukan ide untuk melakukan pembahasan topik per topik. Untuk mengecek apakah be­nar masih ada harapan? Topik pertama adalah: bagaimana mem­buat pendapatan Merpati lebih besar dari pengeluarannya. Kalau tidak ada jalan yang konkrit di topik ini, putusannya jelas: Mer­pati harus ditutup. Asuminya: ba­gaimana bisa memikul beban yang lain kalau dari operasio­nalnya saja sudah rugi besar. Be­rapa pun modal akan digerojok­kan tidak akan ada artinya. Lebih baik untuk beli kebun sawit!

Meski logika sawit begitu jelas dan rasional, rupanya masih banyak yang takut mengubah ja­lan hidup. Ketika hal itu saya ke­mukakan, seseorang nyeletuk dari arah belakang. “Salah pak Dah­lan! Bukan kami takut men­jadi petani sawit, tapi Merpati ini masih punya peluang besar,” ka­ta­nya.

“Asal semua orang di Mer­pati punya etos kerja yang hebat,” tambahnya. Etos kerja ini begitu seringnya dia sebut sebagai penyebab utama kesulitan Mer­pati sekarang ini. Dia sangat per­caya etos itulah kuncinya sehing­ga sepanjang enam jam rapat itu dia selalu dipanggil dengan nama Pak Etos.

Pak Etos mungkin benar. Tapi itu masih kurang konkrit. Yang diperlukan adalah usul konkrit dan realistis. Yang bisa membuat pen­dapatan lebih besar dari penge­luaran. Yang bisa dilak­sanakan dalam keadaan Merpati as is.

Pagi itu begitu sulit mencari ide yang membumi. Maka saya pun teringat pada gurauan pedagang-pedagang sukses seperti ini: “Tuhan itu baik. Tapi uanglah yang bisa membuat orang menga­takan Tuhan itu baik”. Rupanya perlu rangsangan material untuk melahirkan ide-ide kreatif. Rupa­nya perlu dana untuk mendatang­kan tuhan. Maka saya tawarkan di forum itu: peserta rapat yang meng­usulkan ide terbaik akan saya beri hadiah satu mobil baru, Avanza, dari kantong saya pri­badi.

Rapat pun menjadi heboh. Gelak tawa memenuhi ruangan. Ide belum muncul tapi warna mobil sudah harus dibicarakan. Setuju: warna krem! Neraka sa­wit ternyata tidak menarik. Surga Avanzalah yang meng­giurkan. Pantaslah kalau Jakarta macet!

Tuhan rupanya benar-benar datang. Inspirasi bermunculan. Hampir semua peserta rapat meng­angkat tangan. Mereka be­re­but mendaftarkan ide. Angkat tangan lagi untuk ide kedua. Ide ketiga. Bahkan ada yang sampai mendaftarkan lima ide.

Setelah terkumpul 53 ide, ba­rulah diperdebatkan. Mana yang konkrit dan mana yang terlalu umum. Mana yang menghasilkan rupiah, mana yang menghasilkan semangat. Mana yang membuat pendapatan lebih besar, mana yang membuat pengeluaran lebih kecil.

Ide-ide itu kemudian diran­king. Dari yang terbaik sampai yang terkurang. Dari yang ter­banyak menghasilkan rupiah sampai yang menghasilkan etos. Perdebatan amat seru karena masing-masing mempertahankan idenya. Terjadi diskusi yang luar biasa intensif mengalahkan rapat kerja bagian pemasaran.

Dari ranking yang berhasil di­buat, memang sudah bisa dike­tahui siapa yang bakal dapat mo­bil. Tapi ada yang protes. “Se­baik­­nya hadiah baru diberikan setelah ide itu jadi kenyataan,” te­riaknya. Rupanya dia ingin mem­buktikan bahwa meski idenya kalah ranking tapi dalam pelak­sa­naannya kelak akan mengalah­kan juara ranking itu. Setuju. Kita lihat dulu kenyataannya di la­pang­an. Peluang bagi ide yang rankingnya di bawah pun masih terbuka.

Tentu ide-ide itu minta diraha­siakan. Terutama karena masih akan dirumuskan dalam bentuk pro­gram kerja nyata di lapangan. Tapi semua ide memang sangat me­narik. Dari sinilah bisa di­ketahui bahwa Merpati seharus­nya tidak akan rugi secara opera­sional. Kalau ini terlaksana, pe­milik dana tidak akan ragu membantu. Alham­du­lillah. Tuhan memberkati.

Topik berikutnya adalah MA 60. Bagaimana kinerjanya selama ini, apakah bisa menghasilkan uang dan terutama bagaimana mengembalikan citra yang rusak akibat kecelakaan Kaimana. Banyak juga ide gila yang mun­cul. Termasuk ide bahwa khusus untuk MA 60 sebaiknya dicarikan pilot bule. Seperti pesawatnya Susi Air. Orang kita lebih percaya kepada bule daripada bangsa sendiri. Ketidak percayaan orang terhadap MA 60 bisa ditutup dengan pilot orang bule. Huh!

Saya benci dengan ide ini.

Tapi demi Merpati saya me­ne­rimanya!

Maka setelah enam jam ber­debat, tepat pukul 16.00, rapat pun diakhiri dengan lega. Saya bisa segera pulang untuk mandi pagi! [***]

Penulis adalah Menteri Negara BUMN

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA