Meski saya yang memimpin rapat itu, tapi tidak ada hirarkhi di situ. Segala macam jabatan dan predikat saya minta ditanggalkan. Tidak ada menteri, tidak ada dirut, tidak ada koÂmiÂsaris dan tidak ada bawahan. SeÂmua sejajar sebagai orang bebas. DuÂduknya pun tidak diatur dan tidak teÂratur. Operator laptop dan proÂyekÂtorÂnya sampai duduk di lantai. KeÂbetulan saya juga hanya pakai kaus dan celana olahraga. Belum mandi pula. Baru selesai berolahraga berÂsaÂma 30.000 karyawan dan keluarga Bank Rakyat Indonesia se Jakarta memperingati ultah mereka ke 116 yang gegap gempita.
Pindah dari acara BRI ke acara Merpati pagi itu rasanya seperti pindah dari surga ke Marunda. Dari perusahaan yang labanya Rp 14 triliun ke perusahaan yang ruÂginya tidak habis-habisnya. Dari jalannya operasi saja Merpati suÂdah rugi besar. Apalagi kalau ditamÂbah beban-beban hutangÂnya. Tiap bulan pendapatannya haÂnya Rp 133 miliar. PengeluaÂranÂÂnya Rp 178 miliar. PesawatÂnya tua-tua. Sekali dapat yang baru MA 60 pula.
Suasana kerja di Merpati pun sudah seperti perusahaan yang no hope!
Maka jelaslah bahwa persoalan Merpati tidak bisa diselesaikan dengan cara biasa.
Restrukturisasi perusahaan deÂngan cara yang modern sudah diÂcoba sejak dua tahun lalu. Belum ada hasilnya ��"bahkan tanda-tanÂdaÂnya sekali pun. Upaya restrukÂturiÂsasi ini telah menghabiskan enerÂsi luar biasa. Lebih-lebih mengÂhabiskan waktu dan keÂsempatan.
Panjangnya proses pengadaan pesawat Tiongkok MA 60 memÂbuat peluang lama hilang begitu saja. Rute-rute yang kosong yang semula akan didahului diisi oleh MA 60 terlanjur dimasuki Wing dan Susi Air yang lebih komÂpeÂtitif. MA 60 yang menurut para piÂlot merupakan pesawat yang bagus, lebih berat lagi bebannya seÂtelah terjadi kecelakaan di KaiÂmana. Peristiwa yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kuaÂlitas pesawat itu ikut memÂbuat Merpati ibarat petinju yang sudah sempoyongan tiba-tiba terkena pukulan berat.
Sebelum kecelakaan Kaimana, penumpang sebenarnya lebih senang naik MA 60. Pesawat ini sengaja didesain untuk negara troÂpis. AC-nya sudah bisa berÂfungsi sejak penumpang masuk pesawat. Tidak seperti pesawat baÂling-baling lain yang panas udaÂra kabinnya luar biasa dan baru berkurang setelah beberapa menit di udara.
Merpati memang sering kehiÂlangan momentum. Bahkan seÂperti sudah kehilangan momenÂtum sejak dari lahirnya. Ketika perÂtama kali dipisahkan dari GaÂruda, pesawat-pesawatnya diamÂbil tapi hutangnya ditinggalkan. BeÂban-beban lainnya juga meÂnumpuk. Semua itu enak sekaÂli diÂjadikan kambing hitam oleh maÂnajemennya. Setiap manaÂjeÂmen yang gagal punya alasan pemÂbenarannya. Kadang manaÂjemen lebih sibuk mengumÂpulÂkan kambing hitam daripada beÂkerja keras dan melakukan effisiensi.
Benarkah tidak ada hope lagi di Merpati?
Itulah yang melalui forum di hari libur Sabtu lalu ingin saya ketaÂhui. Terutama sebelum saya membuat keputusan yang tragis: ditutup! Segala macam usaha sudah dilakukan. Dua bulan lalu sebeÂnarnya saya sudah menyeÂderÂhanakan manajemen Merpati. Jabatan wakil dirut saya hapus. Jumlah direktur saya kurangi. Agar manajemen lebih lincah. Juga terbebas dari beban spikoÂlogis karena wakil dirutnya lebih senior dari sang dirut. Rupanya beÂlum cukup. Saya harus masuk lebih ke dalam. Tiba-tiba saya keÂpingin dialog langsung. Dialog yang intensif dan tanpa batas. Dialog dengan jajaran yang lebih bawah. Di masa lalu saya sering mendapat pengalaman ini: banyak ide bagus justru datang dari orang bawah yang langsung bekerja di lapangan. Bukan dari konseptor yang bekerja di belaÂkang meja.
Memang ada rencana pemeÂrintah dan DPR untuk membantu keuangan Merpati Rp 561 miliar. Tapi akankah uang itu nanti berÂmanfaat? Atau hanya akan terÂbang terhambur begitu saja ke udara? Seperti ratusan miliar uang-uang negara sebelumnya?
Tentu saya tidak ingin seperti itu. Harus ada jaminan ini: deÂngan suntikan tersebut Merpati biÂsa hidup dan berkembang. TiÂdak seperti suntikan-suntikan uang ratusan miliar di masa lalu. Ini juga harus menjadi uang teÂrakhir dari negara untuk Merpati. Sudah terlalu besar negara terus menyuntik Merpati, dengan hasil yang masih begitu-begitu saja.
Maka saya kemukakan terus terang di forum itu: daripada uang Rp 561 miliar tersebut akan terÂhambur ke udara begitu saja dan karyawan pada akhirnya akan kehilangan pekerjaan juga, lebih baik Merpati ditutup sekarang juÂga. Uang itu bisa dibelikan kebun kelapa sawit. Tiap karyawan menÂdapat pesangon 2 ha kebun sawit. Orang Riau punya dalil: satu keluarga yang punya kebun sawit 2 ha, sudah bisa†hidup bisa sampai menyekolahkan anak ke ITB! Memiliki kebun sawit 2 ha lebih memberikan masa depan daripada terus menjadi karyawan Merpati.
Tentu ide ini membuat perteÂmuan heboh. Sekaligus membuat peserta pertemuan tertantang untuk menolaknya. Mereka tidak rela kalau Merpati harus mati. KeÂbun sawit bukan bandingan unÂtuk masa depan. Ok. Saya seÂtuju. So what? Kalau dari operaÂsioÂnalnya saja sudah rugi, masih adakah alasan untuk memÂpertaÂhankannya?
Maka saya ajukan ide untuk melakukan pembahasan topik per topik. Untuk mengecek apakah beÂnar masih ada harapan? Topik pertama adalah: bagaimana memÂbuat pendapatan Merpati lebih besar dari pengeluarannya. Kalau tidak ada jalan yang konkrit di topik ini, putusannya jelas: MerÂpati harus ditutup. Asuminya: baÂgaimana bisa memikul beban yang lain kalau dari operasioÂnalnya saja sudah rugi besar. BeÂrapa pun modal akan digerojokÂkan tidak akan ada artinya. Lebih baik untuk beli kebun sawit!
Meski logika sawit begitu jelas dan rasional, rupanya masih banyak yang takut mengubah jaÂlan hidup. Ketika hal itu saya keÂmukakan, seseorang nyeletuk dari arah belakang. “Salah pak DahÂlan! Bukan kami takut menÂjadi petani sawit, tapi Merpati ini masih punya peluang besar,†kaÂtaÂnya.
“Asal semua orang di MerÂpati punya etos kerja yang hebat,†tambahnya. Etos kerja ini begitu seringnya dia sebut sebagai penyebab utama kesulitan MerÂpati sekarang ini. Dia sangat perÂcaya etos itulah kuncinya sehingÂga sepanjang enam jam rapat itu dia selalu dipanggil dengan nama Pak Etos.
Pak Etos mungkin benar. Tapi itu masih kurang konkrit. Yang diperlukan adalah usul konkrit dan realistis. Yang bisa membuat penÂdapatan lebih besar dari pengeÂluaran. Yang bisa dilakÂsanakan dalam keadaan Merpati as is.
Pagi itu begitu sulit mencari ide yang membumi. Maka saya pun teringat pada gurauan pedagang-pedagang sukses seperti ini: “Tuhan itu baik. Tapi uanglah yang bisa membuat orang mengaÂtakan Tuhan itu baikâ€. Rupanya perlu rangsangan material untuk melahirkan ide-ide kreatif. RupaÂnya perlu dana untuk mendatangÂkan tuhan. Maka saya tawarkan di forum itu: peserta rapat yang mengÂusulkan ide terbaik akan saya beri hadiah satu mobil baru, Avanza, dari kantong saya priÂbadi.
Rapat pun menjadi heboh. Gelak tawa memenuhi ruangan. Ide belum muncul tapi warna mobil sudah harus dibicarakan. Setuju: warna krem! Neraka saÂwit ternyata tidak menarik. Surga Avanzalah yang mengÂgiurkan. Pantaslah kalau Jakarta macet!
Tuhan rupanya benar-benar datang. Inspirasi bermunculan. Hampir semua peserta rapat mengÂangkat tangan. Mereka beÂreÂbut mendaftarkan ide. Angkat tangan lagi untuk ide kedua. Ide ketiga. Bahkan ada yang sampai mendaftarkan lima ide.
Setelah terkumpul 53 ide, baÂrulah diperdebatkan. Mana yang konkrit dan mana yang terlalu umum. Mana yang menghasilkan rupiah, mana yang menghasilkan semangat. Mana yang membuat pendapatan lebih besar, mana yang membuat pengeluaran lebih kecil.
Ide-ide itu kemudian diranÂking. Dari yang terbaik sampai yang terkurang. Dari yang terÂbanyak menghasilkan rupiah sampai yang menghasilkan etos. Perdebatan amat seru karena masing-masing mempertahankan idenya. Terjadi diskusi yang luar biasa intensif mengalahkan rapat kerja bagian pemasaran.
Dari ranking yang berhasil diÂbuat, memang sudah bisa dikeÂtahui siapa yang bakal dapat moÂbil. Tapi ada yang protes. “SeÂbaikÂÂnya hadiah baru diberikan setelah ide itu jadi kenyataan,†teÂriaknya. Rupanya dia ingin memÂbuktikan bahwa meski idenya kalah ranking tapi dalam pelakÂsaÂnaannya kelak akan mengalahÂkan juara ranking itu. Setuju. Kita lihat dulu kenyataannya di laÂpangÂan. Peluang bagi ide yang rankingnya di bawah pun masih terbuka.
Tentu ide-ide itu minta dirahaÂsiakan. Terutama karena masih akan dirumuskan dalam bentuk proÂgram kerja nyata di lapangan. Tapi semua ide memang sangat meÂnarik. Dari sinilah bisa diÂketahui bahwa Merpati seharusÂnya tidak akan rugi secara operaÂsional. Kalau ini terlaksana, peÂmilik dana tidak akan ragu membantu. AlhamÂduÂlillah. Tuhan memberkati.
Topik berikutnya adalah MA 60. Bagaimana kinerjanya selama ini, apakah bisa menghasilkan uang dan terutama bagaimana mengembalikan citra yang rusak akibat kecelakaan Kaimana. Banyak juga ide gila yang munÂcul. Termasuk ide bahwa khusus untuk MA 60 sebaiknya dicarikan pilot bule. Seperti pesawatnya Susi Air. Orang kita lebih percaya kepada bule daripada bangsa sendiri. Ketidak percayaan orang terhadap MA 60 bisa ditutup dengan pilot orang bule. Huh!
Saya benci dengan ide ini.
Tapi demi Merpati saya meÂneÂrimanya!
Maka setelah enam jam berÂdebat, tepat pukul 16.00, rapat pun diakhiri dengan lega. Saya bisa segera pulang untuk mandi pagi! [***]
Penulis adalah Menteri Negara BUMN
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: