Bagi Hasil Migas Masalah Semua Daerah Penghasil

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ade-mulyana-1'>ADE MULYANA</a>
LAPORAN: ADE MULYANA
  • Kamis, 22 Desember 2011, 22:16 WIB
RMOL. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengingatkan bahwa perimbangan keuangan pusat-daerah sangat menentukan harmoni hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, karena keuangan merupakan salah satu aspek hubungan selain kewenangan, kelembagaan, dan pengawasan. Agar kebijakan fiskal dan pengaturan bagi hasil minyak dan gas bumi (migas) berimbang, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus menentukan formula yang proporsional.

"Masalah yang disampaikan pemohon (a quo) hendaknya dibaca dalam konteks hubungan pusat-daerah. Bagi hasil tidak saja masalah daerah penghasil migas, juga daerah penghasil pertambangan dan sumberdaya alam lainnya, ujar Koordinator merangkap anggota Tim DPD, Cholid Mahmud, pada Sidang Uji
Materi Perkara Nomor 71/PUU-IX/2011 di Sidang Panel Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta (Kamis, 22/12).

Cholid membacakan keterangan DPD dalam sidang uji materi UU Nomor 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terhadap UUD 1945. Dua pemohon judicial review, Luther Kombong dan Bambang Susilo, yang merupakan anggota DPD asal Kalimantan Timur turut menghadiri Sidang Panel MK. Sementara Awang Ferdian Hidayat dan Muslihuddin Abdurrasyid, dua anggota DPD asal Kalimantan Timur lainnya tidak ikut hadir.

Cholid yang juga Ketua Komite IV DPD menyatakan, perbedaan pengaturan bagi hasil dalam UU 33/2004 dan UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua dan UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh belum sepenuhnya dipahami  daerah. Kemiskinan yang bertahan di daerah penghasil membuktikan bahwa kegiatan pertambangan tidak bermanfaat bagi daerah dan masyarakatnya.

"Malah menjadi masalah sosial yang parah. Sumberdaya alam yang seharusnya meningkatkan kesejahteraan ternyata menjadi sumber bencana," katanya.

Ia melanjutkan, DPD sangat memahami dalil pemohon dan legal standing-nya selaku perorangan warganegara yang dirugikan hak konstitusionalnya karena kalimat 84,5 persen untuk pemerintah dan 15,5 persen untuk daerah dan 69,5 persen untuk pemerintah dan 30,5 persen untuk daerah Pasal 14 huruf e dan f UU 33/2004.

Norma tersebut diujikan terhadap Pasal 1 ayat (1), Pasal 18A ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 33 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) UUD 1945.

Pemohon mendalilkan alasan kerugiannya, bahwa pengaturan bagi hasil migas dalam UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua dan UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh yang memberi 70 persen untuk daerah berbeda dengan UU 33/2004 yang memberi bagi hasil 15,5 persen untuk Kalimantan Timur. Sementara Kalimantan Timur mempunyai pendapatan asli daerah (PAD) yang rendah kendati berlimpah sumberdaya alam.

Alasan kerugian lainnya, rasa keadilan terganggu, karena ketertinggalan pembangunan di daerah penghasil migas terbesar di Indonesia ini berupa pembangunan wilayah yang rendah dan kemiskinan penduduk yang tinggi serta kerusakan lingkungan karena kegiatan pertambangan menjadi beban, sementara sumber pendapatannya tidak cukup membiayai perehabilitasiannya. [dem]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA