Dalam pembicaraan itu juga disampaikan bahwa Gereja-Gereja di dunia dalam solidaritasnya dengan Gereja-Gereja di Papua telah merekomendasikan hak untuk menentukan nasib sendiri (
the right for self determination) rakyat Papua.
Kabar mengenai pertemuan tersebut juga diterima mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan, Usman Hamid. Hal itu diakuinya, ketika berbicara pada wartawan tadi siang di Rumah Perubahan, Komplek Duta Merlin, Jakarta Pusat, Selasa (20/12).
"Perwakilan pendeta Papua sudah sampai ke Presiden dan menyatakan Papua ingin menentukan nasib sendiri. Itu akumulasi dari kekecewaan dan kebohongan pemerintah di Papua," kata Usman kepada wartawan.
Menurut Usman, penugasan unit baru ciptaan SBY yang bernama Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B) hanya seolah-olah mau menjawab gejolak di Papua.
"Tapi itu sebenarnya untuk mempercepat investasi untuk investor besar untuk keruk kekayaan bumi Papua tanpa jelas kontrolnya dan tanpa perlindungan suku asli di Papua," tegasnya.
Dari berbagai sumber diketahui bahwa surat bertajuk
"Menangani Bayi Nasionalisme (Separatisme) Papua Sebagai Hasil 'Perkawinan Paksa' Jakarta-Papua" disampaikan para pendeta kepada Presiden SBY dalam pertemuan yang digelar di Perpustakaan kediaman Presiden di Cikeas, Bogor, Jumat (16/12). Kedatangan para pendeta dari Papua itu difasilitasi oleh Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia.
Para pimpinan Gereja Papua terdiri dari Ketua Sinode GKI di Tanah Papua Pdt. Jemima M. Krey, S.Th; Ketua Sinode Kingmi di Tanah Papua Pdt. Dr. Benny Giay; Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua Pdt. Socratez Sofyan Yoman, MA; dan Majelis Umum (Sinode Nasional) Gereja Kristen Alkitab Indonesia Pdt. Dr. Martin Luther Wanma.
Mereka menganggap, peristiwa-peristiwa bersejarah integrasi Papua ke Indonesia tidak melibatkan rakyat Papua. Hal itulah yang menjadi akar masalah Papua yang terus terjadi sampai dewasa ini. Setelah penentuan pendapat tahun 1969, lanjut surat tersebut, pemerintah melaksanakan pembangunan di Papua yang dianggap warga Papua sebagai kekerasan multi wajah.
Dalam rangka menyikapi "bayi nasionalisme" yang lahir dalam konteks pemerintahan yang berwajah kekerasan, Pimpinan Gereja di Tanah Papua telah mengeluarkan Komunike Bersama Pimpinan Gereja (10 Januari 2011) dan Deklarasi Teologi (pada tanggal 26 Januari 2011) yang menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia telah gagal membangun orang asli Papua kecuali melahirkan dan menyuburkan aspirasi Papua merdeka dan tidak punya niat untuk memutuskan mata rantai kekerasan ini.
Para pimpinan Gereja pun merekomendasikan hal-hal yang diantaranya adalah meminta Pemerintah membuka diri menggelar dialog yang inklusif, tanpa syarat, yang adil, bermartabat dan komprehensif dengan rakyat Papua, dengan dimediasi oleh pihak ketiga yang netral.
Agenda menyelamatkan Otsus Papua dan UP4B yang akan dijalankan, mereka nyatakan sebagai kerja sepihak Pemerintah Indonesia yang tidak demokratis karena dilahirkan tanpa partisipasi rakyat Papua.
[ald]
BERITA TERKAIT: