Manusia Disembelih, Negara Tidak Hadir, Jangan Lagi Cuma Unjuk Prihatin!

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ruslan-tambak-1'>RUSLAN TAMBAK</a>
LAPORAN: RUSLAN TAMBAK
  • Kamis, 15 Desember 2011, 12:02 WIB
RMOL. "Sudah-sudah, ini mengerikan sekali!” seru personel Komisi III DPR, Ahmad Yani, ketika video pembantaian warga sebuah kampung adat di provinsi Lampung diputar di ruangan rapat komisinya, Senayan, Jakarta.

Ahmad Yani (PPP) dan beberapa koleganya seperti Nudirman Munir (Golkar), Syarifuddin Suding (Hanura), Martin Hutabarat (Gerindra) dan Taslim (PAN) tampak begitu emosional saat puluhan orang dari Lembaga adat Megoupak di Mesuji, Lampung menemui rombongan Komisi Hukum DPR yang dipimpin Bambang Soesatyo. Turut mendampingi masyarakat adat, antara lain aktivis Pong Hardjatmo dan puluhan anggota Front Pembela Islam.

"Saya yang membawa mereka (warga pelapor) kesini,” aku purnawirawan Mayjen TNI Saurip Kadi selaku pemimpin Lembaga Adat Megoupak di depan Komisi III kemarin.

Masyarakat adat membeberkan data pembantaian warga yang terjadi sejak 2009 hingga tahun ini. Tercatat 30 warga tewas mengenaskan, ratusan menjadi korban mental dan fisik, sedangkan 137 orang lainnya ditahan di Polres Mesuji dan Polda Lampung sejak 2009.

"Penyembelihan itu terjadi awal Januari 2011. Rincian korban sejak 2009 sudah 30 orang yang tewas dan ada beberapa orang stres karena melihat anggota keluarganya dibantai di hadapannya," jelas Bob Hasan selaku Ketua Tim Advokasi Lembaga Adat Megoupak.

Bob jelaskan kronologi pembantaian di Lampung. Awalnya di 2003, sebuah perusahaan bernama PT. Silva Inhutani milik warga negara Malaysia bernama Benny Sutanto alias Abeng bermaksud melakukan perluasan lahan. Perluasan areal kebun ini selalu ditentang masyarakat setempat yang telah menanam, kebanyakan pohon sengon, untuk sumber penghasilan sehari-hari. Sengketa melibatkan Sungai Sodong Kecamatan Mesuji Sumatera Selatan; Tulang Bawang Induk dan Tulang Bawang Barat, Provinsi Lampung.

PT. Silva Inhutani akhirnya membentuk PAM Swakarsa yang juga didukung aparat kepolisian untuk menggusur penduduk. Pasca berdirinya PAM Swakarsa terjadilah beberapa pembantaian sadis dari tahun 2009 hingga 2011. Dan perusahaan yang berdiri tahun 1997 itu terus melenggang, menyerobot lahan warga untuk ditanami kelapa sawit dan karet.

PAM Swakarsa adalah bentuk paling kasar politik adu domba warga yang diupayakan pemodal dari negeri seberang itu. Lebih kurang 30 orang sudah menjadi korban pembantaian sadis dengan cara ditembak atau disembelih. Sementara ratusan orang mengalami luka-luka, di antara mereka ada yang mengalami trauma dan stres berat. Praktik penyembelihan terjadi pada tahun 2011, selain itu banyak perempuan yang diperkosa.

Dalam pertemuan dengan DPR video yang sarat adegan kekerasan ditampilkan. Pembantaian sadis tergambar jelas. Beberapa korban dari masyarakat ada yang disembelih kepalanya kemudian tubuhnya digantung di tiang listrik, di pohon, dan ada kepala manusia yang terpotong lalu diletakkan di atas mobil. Ada pula yang diduga kuat ditembak dari bawah tubuh sampai tembus ke kepalanya.

Bahkan, rekaman sempat menampilkan dua adegan pemenggalan kepala dua pria. Tampak seorang pria bersenjata api laras panjang dengan penutup kepala memegang kepala yang sudah terpisah dari tubuh. Selain merekam pembunuhan keji lainnya, video lain juga memperlihatkan kerusakan rumah warga, dan foto-foto mengerikan.

Sementara Kepala Polri Jenderal Timur Pradopo menegaskan bahwa rekaman penganiayaan di Mesuji terdiri dari dua kejadian berbeda. Diakui mantan Kapolda Metro Jaya itu, ada korban tewas dalam kedua kejadian tersebut, di mana salah satunya adalah korban penembakan oleh aparat.
 
"Setelah kami melihat tayangan di media, yang ditangani kepolisian setempat itu dua kejadian berbeda," terang Timur dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR malam harinya setelah kunjungan masyarakat adat.

Kejadian pertama, masih kata Timur, terjadi pada 21 April tahun ini di Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Hilir, Sumatera Selatan. Saat itu, terjadi sengketa lahan penanaman pohon kelapa sawit yang berujung pada pengeroyokan dan terbunuhnya warga. Namun Kapolri tidak menyebutkan berapa banyak warga yang meninggal dunia

"Saat ini sudah enam orang tersangka dibawa ke meja hijau terkait kejadian tersebut. Jadi sudah ada tersangkanya dan sudah diproses, tinggal tunggu hasil persidangan," lanjutnya.
 
Sementara kejadian kedua terjadi di Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung pada 11 November 2011. Dalam kejadian ini sengketa lahan sawit berujung pada penyanderaan sejumlah warga oleh warga lainnya.
 
Kepolisian setempat kemudian menuju lokasi untuk membebaskan sandera. Saat sandera berhasil diamankan dan dibawa dengan kendaraan kepolisian, terjadi penyergapan oleh warga. Petugas kemudian melepaskan tembakan peringatan untuk membubarkan warga yang melakukan pencegatan.

Seorang warga tewas akibat tembakan petugas dalam kejadian ini. Menurut Kapolri, dua orang petugas polisi tengah disidang terkait perkara ini. Namun kata Timur kasus ini sudah diusut, sudah ada 6 orang tersangka dan sekarang dalam proses di pengadilan.

"Sudah ada enam tersangka dibawa ke pengadilan dalam proses peradilan. Tersangka diproses, tinggal tunggu hasil," paparnya.

Pernyataan dari institusi keamanan itu, seperti biasa, tidak konsisten. Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Sutarman sebelumnya tak mengakui ada praktik pemenggalan kepala di Lampung, seperti diperlihatkan video rekaman. Saat ditemui di Istana Bogor kemarin sore, Sutarman masih meragukan keaslian video dan tidak percaya ada manusia sesadis itu menyembelih kepala manusia lainnya.

Di hari yang sama cuma beda beberapa jam, setelah RDP dengan Komisi III berakhir, Sutarman membenarkan video itu. Tapi versi Polri, pemenggalan dilakukan oleh orang sipil.

Tentu saja konflik hingga kejahatan kemanusiaan itu tak berlangsung kalau negara tegas menyelesaikan konflik agraria. Lagi-lagi negara tak hadir, dan terkesan kuat membiarkan kekerasan berlangsung bertahun-tahun.

Wakil Ketua MPR Hajriyanto Tohari kepada wartawan di Jakarta, sesaat lalu (Kamis, 15/12) menyatakan Kasus Mesuji sangat banyak terjadi di Indonesia.

Karena sudah seperti puncak gunung es, maka dibutuhkan penyelesaian menyeluruh dan radikal yang sejalan dengan TAP MPR IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Menurut TAP itu, land reform adalah satu-satunya kunci penyelesaian persoalan yang sudah amat akut ini.

Dimanakah negara? Lagi-lagi pertanyaan besar itu melintas di kepala kita. Konflik antara masyarakat bahkan yang mencapai titik SARA di beberapa waktu lalu, mempertegas mati surinya penegakan hukum.

Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif pernah berkata, seandainya negara hadir di tengah masyarakat maka konflik yang mengatasnamakan agama atau apapun itu, tidak akan pernah terjadi. Negara yang diwakili pemerintah, lanjut Buya, sangat lemah sehingga sumbu mudah tersulut.

Koordinator Indonesian Crime Analyst Forum, Mustofa B Nahrawardaya, menyerukan agar SBY tidak perlu lagi basa-basi mengungkapkan keprihatinan melalui jumpa pers sebagaimana biasanya. SBY harus langsung memberi target waktu dalam beberapa hari kepada Kapolri Jenderal Timur Pradapo untuk segera menangkap pelaku dan memenjarakan aparat yang terlibat menutupi kasus super biadab itu.[ald]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA