Pesawat Airbus 330 milik maskapai penerbangan sebuah negeri di kawasan Teluk itu berputar-putar diatas bandara internasional Abu Dhabi yang bersuhu 23 derajat Celcius. Perjalanan yang mestinya ditempuh lima jam dari kota Moskow telah ngaret seperempat jam. Kemungkinan besar akibat antrian landing yang lumayan panjang. Maklum, Abu Dhabi terus berpacu melawan saudara kembarnya, Dubai.
Begitu roda pesawat menyentuh landasan dengan mulus, terdengar tepukan yang bergemuruh dari para penumpang yang mayoritas warga Rusia yang akan melancong mencari panas. Tidak kurang, terdengar sedikit suara suit-suit yang tidak lazim. Bisa jadi ada penumpang yang kaget dan menuding katrok atas kelakuan yang sulit ditemui di tempat lain di dunia itu.
Kejadian tersebut mengingatkan atas perjalanan pertama saya ke Rusia. Ketika pesawat landas di Bandara terbesar Moskow, Domodedovo, semua orang minus saya, bertepuk tangan sangat ramai. Sontak, apa yang mereka lakukan itu mengingatkan film koboi Amerika di tahun 1970an. Di kota saya yang jauh dari ibukota, para penonton yang rata-rata orang kampung suka sekali tepuk tangan bergemuruh saat sang jagoan di film mulai memacu kudanya. Tangan sayapun tak terasa ikut bersorak di tengah-tengah suitan anak-anak muda.
Tapi lama kelamaan, saya makin sering mendengar tepuk tangan penumpang pesawat dalam berbagai perjalanan di Rusia. Nyaris tidak ada landing tanpa disoraki penumpang kecuali pesawat tersebut nyungsep. Ini berarti bukan sebuah kebetulan. Bukan insidental. Merupakan tradisi yang memiliki arti.
Di negeri beruang putih, tepuk tangan juga pasti terdengar pada saat pertunjukan apapun berakhir. Pada berbagai pagelaran kesenian Indonesia, para penonton, baik yang tua ataupun anak-anak hampir selalu memberikan
standing ovation di ujung acara. Bahkan, mereka tidak sungkan-sungkan meminta tambahan penampilan dengan cara bertepuk tangan tanpa henti sampai muncul imbuhan atraksi. Kalaupun pertunjukan dinilai top markotop, maka bisa jadi permintaan tambahan itu bisa dua hingga tiga kali. Sampai penonton puas dan pemain lega.
Saya masih mengerti kalau pertunjukan yang baik dan menarik mendapat tepuk tangan. Namun, selama ini yang saya ketahui, semua pertunjukan mendapatkan aksi tepuk tangan penonton dan permintaan tambahan. Bahkan, sebuah penampilan balet yang sudah pasti telah ditonton berkali-kali, seperti cerita Angsa Danau atau Swan Lake, penonton Rusia tetap memberikan tepuk tangannya.
Di Perancis, hal mirip juga terjadi. Ketika pertunjukan usai, penonton sering bertepuk tangan dengan nada yang sama sambil berteriak histeris. Sedangkan di Jerman, penonton meneriakkan kata "zugabe" bermenit-menit sampai ada
additional attraction. Mereka ungkapkan kesenangan karena telah dibuat senang.
Sudah pasti dan tidak bisa disangkal, pilot yang mendapat tepuk tangan akan senang hatinya. Pelawak yang ada di atas panggung akan berbinar-binar matanya dan bisa tidur nyenyak saat pulang ke rumah. Penghargaan yang disampaikan oleh orang lain dengan ketulusan pasti memberikan efek positif dalam jangka panjang.
Seorang pilot yang ditepuki ramai-ramai akan membuat
landing-landing berikutnya lebih mulus sehingga penumpang yang sedang terlelap tidur tidak kaget dibuatnya. Sedangkan pemain sandiwara di atas panggung yang dihadiahi tepukan dan permintaan tambahan pasti akan memacu diri untuk tampil lebih berkarakter di masa-masa berikutnya.
Mereka yang mendapatkan tepuk tangan namun tidak tampil optimal juga akan tahu diri. Para penerima tepuk tangan itu tahu bahwa apa yang diterimanya hanyalah sebuah penghargaan atas upaya yag dilakukannya. Bukan atas prestasi besar dari usahanya.
To win the heart of the spectators, mereka harus lebih banyak berlatih. Sekali
zugabe adalah lazim, tapi bila sampai tiga kali merupakan apresiasi atas prestasi.
Tapi yang jelas, tepuk tangan membuat tidak ada pihak yang dipermalukan. Pemain bola yang kalah setelah berusaha keras dan saat pulang mendapat tepukan penonton pasti akan berhati lega dan siap introspeksi. Sedangkan mereka yang kalah dan dipermlakukan publik bisa jadi akan patah semangat dan semakin grogi.
Di sisi lain, kepada para pemain lawan yang memenangi pertandingan, juga layak mendapatkan tepuk tangan dari penonton pihak yang kalah. Dalam diri para pemenang itu akan tumbuh rasa cinta dan memiliki cara pandang positif terhadap penonton yang apresiatif. Intinya, tepukan tangan layak diberikan kepada mereka yang sudah berusaha mencetak prestasi.
Di beberapa bangsa, budaya tepuk tangan positif ini kadang masih minim. Tepuk tangan masih sangat primordial. Hanya diberikan kepada kelompoknya saja. Hanya disampaikan manakala keberhasilan besar ditorehkan. Tepuk tangan bukan diperuntukkan sebuah usaha, tetapi hanya untuk berupa prestasi.
Teriakan yang bernada mengejek dalam aneka bentuk seperti "huuuuu" terkadang dilontarkan kepada kelompoknya sendiri yang kalah atau buruk penampilan. Aneka umpatan dan kritikan yang bersifat subyektif ditebarkan, seolah penonton jauh lebih jago dibandingkan pemain. Tidak kurang-kurang, makian kadang muncul di berbagai media masa sehingga menjadi semacam
character assasination.
Tentu saja, bangsa yang demikian itu akan berlaku lebih kejam kepada lawan kelompoknya. Tidak hanya akan diteriaki dengan kata "huuuu", tetapi lawan juga harus siap menerima lemparan botol hingga batu. Makian, cacian dan hujatan kemudian muncul bak virus cikungunya di musim penghujan, menyebar melalui FB, Twitter, BBM dan SMS.
Percaya atau tidak, sikap negatif dan tidak apresitif terhadap sebuah usaha hanya akan memandegkan peradaban. Tidak akan memacu kemajuan. Memperbanyak musuh serta melahirkan masyarakat yang sakit.
Bila saja Anda tidak atau belum percaya dengan hal diatas, cobalah sejenak merenung dan mengamati bangsa-bangsa di dunia. Tetapi jika ternyata benar adanya, sudah waktunya setiap kita membangun sikap positif dan lebih apresiatif.
Penulis adalah warga RI yang tinggal di Moskow, [email protected]