Demikian dikatakan pengamat parlemen Sebastian Salang dalam acara Polemik Sindo Radio bertajuk "Pasal, Ente Jual Ane Beli" di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (19/11).
"Ini praktik yang tak mudah dibuktikan. Praktik jual beli pasal ini bukan kayak beli cabe di pasar yang konvensional. Ini praktik sangat canggih yang tak mudah dibuktikan," katanya.
Dia pun menjabarkan beberapa contoh kasus. Pada pembahasan UU Kesehatan, ada pihak yang inginkan UU itu tidak disahkan, ada yang inginkan diundur, dan ada yang ingin cepat dituntaskan.
"Akhirnya dihilangkanlah satu ayat. Sempat ada satu anggota yang masuk Badan Kehormatan dalam kasus itu, tapi kelanjutannya kasus itu tidak kita tahu," ucapnya.
Contoh lain, dimana proses pembahasan UU Otoritas Jasa Keuangan yang berjalan begitu lama 9,5 sampai 10 tahun. Lalu muncul berita heboh dan rekaman yang menuding DPR menuntut uang dari pihak Bank Indonesia demi pengesahan UU itu.
"Ini contoh dan silakan menyimpulkan. Ini praktik yang modelnya sangat canggih dan susah dibuktikan. Kalau Sebastian Salang diminta tunjukkan kuitansi, maka tidak mungkin, karena demikian canggih," ucapnya.
Pernyataan Mahfud itu disebutnya sebagai peringatan dini, bahwa bangsa ini dalam keadaan bahaya kalau kebijakannya penuh transaksi.
Ada modus kalau UU itu dianggap bahaya oleh
stakeholder, maka UU itu tak jadi disahkan. Maka kalau tak jadi, itu akan disebut sebagai prioritas DPR, tapi nyatanya tidak pernah dibahas tiap tahun. Strategi berikutnya, UU disahkan tapi pasalnya kompromis sehingga tak terlalu merugikan
stakeholder.
"Persisnya saya bukan bilang jual beli pasal, tapi jual beli kepentingan. Misalnya UU Minerba. Apa kepentingan bangsa dan pengusaha? Itu kan luar biasa besarnya. Ini bukan urusan seorang anggota saja, bukan partai saja tapi sebuah pertarungan kepentingan yang sangat besar, dimana DPR bisa gagal mempertahankan kepentingan nasional," jelasnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: