Itu semua karena keterlibatan pihak asing dalam menyusun UU yang pro-neolib di Indonesia, seperti UU Ketenagakerjaan, UU Kelistrikan, UU Migas, UU Minerba, UU Perguruan Tinggi, UU Penanaman Modal dan lainnya. Kenyataannya, kekayaan alam yang melimpah tak sanggup digunakan sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat negeri. Malah rakyat cuma jadi korban akibat lahannya disulap jadi wilayah operasi penambangan pihak asing seperti Freeport, Newmont, Caltex, dan Inco. Ironi itu juga yang terjadi di bumi Papua.
"Persoalan yang terjadi di Papua merupakan bentuk kolonialisasi kembali, bentuk penjajahan gaya baru. PT Freeport Indonesia mengeruk tambang emas dan tembaga di tanah Papua, sementara Indonesia sendiri hanya mendapat 1 persen," ujar Ketua Umum Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi Lamen Hendra kepada
Rakyat Merdeka Online, Kamis (10/11).
Freeport adalah "hadiah" pertama asing kepada Orde Baru pada tahun 1967. Sayangnya kehadiran tambang Freeport yang memiliki nilai buku sebesar Rp 190 triliun itu tidak berdampak sama sekali pada peningkatan kesejahterakan rakyat.
"Seharusnya rakyat sebagai pemilik sah atas lahan-lahan tambang berhak untuk mendapatkan jaminan kesejahteraan. Hingga sekarang rakyat Indonesia masih berada dalam kemiskinan massal," katanya.
Karena itu menurutnya ketidakmampuan pemerintahan SBY-Boediono mengelola sendiri kekayaan alam guna memajukan dan menyejahterakan kehidupan rakyat merupakan bukti gagalnya rezim menjalankan amanah UUD 1945. Dalam kaitannya dengan konflik Papua, Lamen pun menyerukan tuntutan nasionalisasi tambang Freeport untuk meredakan konflik Papua dengan pemerintahan pusat.
"Nasionalisasi PT. Freeport untuk kesejahteraan rakyat Indonesia dan hentikan operasi militer dan kekerasan di Papua. Kalau tidak bisa, turunkan rezim SBY-Boediono," tandasnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: