Hal itu dikatakan Ketua Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Angger Jati Wijaya, menanggapi kebijakan Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin dan Wakil Menteri Denny Indrayana dalam pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat bagi terpidana kasus korupsi dan terorisme.
Dia sebutkan bahwa UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan mengarahkan agar narapidana atau warga binaan dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat. Salah satu bentuk perwujudan dari upaya tersebut adalah pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagai narapidana yang berkelakuan baik setelah menjalani masa hukuman tertentu.
Maka itu pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat bertentangan dengan semangat tujuan utama sistem pemasyarakatan yang bertujuan utama merehabilitasi narapidana. Sedangkan pertimbangan rasa keadilan masyarakat untuk pemberian pembebasan bersyarat berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang, apabila tidak ada alat ukur yang jelas apa yang dimaksud dengan rasa keadilan masyarakat.
"Rasa keadilan masyarakat, norma hukum yang hidup dalam masyarakat seharusnya sudah masuk dalam pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan, sehingga tidak perlu lagi menjadi pertimbangan dalam melakukan pembebasan bersyarat," kata Angger kepada wartawan, Jumat (4/11).
Dia juga menerangkan, pembedaan jenis kejahatan tertentu untuk mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat merupakan bentuk pembeda-bedaan terhadap narapidana.
"Pembedaan terhadap pelaku kejahatan seharusnya hanya tercermin dari berapa lama hukuman yang dijatuhi oleh majelis hakim," tegasnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: