Demikian disampaikan mantan Koordinator Pokja RUU Intelijen, AS Hikam, kepada
Rakyat Merdeka Online, Senin (26/9). Maka menurut dia, pernyataan Djoko Suyanto yang membantah intelijen kecolongan dalam kasus bom Solo, cuma membuka kegagalan pemerintah sendiri alias jadi bumerang.
"Satu-satunya yang perlu dipertanyakan adalah
user intelijen, yaitu pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kalau Djoko (Menko Polhukam) mengatakan tidak kecolongan, apa yang terjadi?
Usernya yang kurang cepat dalam deteksi dini," tegas anggota Lemhanas itu.
Hikam memastikan, badan intelijen mempunyai tugas menyampaikan informasi secara rutin harian, bulanan dan tahunan kepada
user. Kalau lamban disikapi pemerintah, Polri atau BNPT, maka jangan salahkan intelijen.
"Kecuali intelijen diberi kekuasaan untuk melakukan tindakan. Sekarang ini tugas intelijen kan cuma memberi laporan kepada
user," tegasnya lagi.
Masih menurut dia, kejadian bom yang berulangkali juga disebabkan karena Indonesia belum punya aturan yang memperkuat penanggulangan terorisme. Dia mencontohkan UU 34 tahun 2004 di pasal 7 tentang operasi militer selain perang oleh TNI, atau disebut OMSP. Di pasal itu tidak detail disebutkan soal prosedur menurunkan TNI untuk operasi selain perang termasuk dalam penangan terorisme
"Hanya dikatakan di UU itu kalau ada keputusan politik dari Presiden, baru TNI bisa terjun. Itu tidak jelas keputusan politik seperti apa. Padahal TNI punya pembinaan teritorial, punya pengalaman sangat kuat mengenai penanganan terorisme baik secara fisik atau ideologi. TNI punya aparat teritorial sampai perbatasan yang tidak bisa dimiliki Polri atau BNPT sekalipun. Jangan salahkan intelijen," paparnya.
Persoalan lain yang lebih urgen adalah ketiadaan UU intelijen, yang pembahasannya berlarut-larut. RUU Intelijen harus segera disahkan, supaya fungsi dan tugas intelijen jelas.
"Menyalahkan intelijen sama saja menyalahkan angin. Angin tak bisa dicek dan angin tidak bisa marah pada Anda. Jadi hati-hatilah berbicara menuduh intelijen kecolongan," serunya.
[ald]