"Misalnya mau ganti Muhaimin (Menakertrans) harus tanya partai politiknya (PKB). Nah partai politiknya kan di bawah pimpinan dia (Muhaimin). Demikian juga dengan mengganti Andi Mallarangeng (Menpora), dia harus pertimbangkan posisi politiknya di Demokrat. Atau misalnya mengganti Suharso Manoarfa (PPP) yang gengsi partai politiknya sangat tinggi karena bagaimanapun Suharso jauh lebih baik dari Muhaimin," papar pengamat politik senior, Muhammad AS Hikam, kepada
Rakyat Merdeka Online, Sabtu (17/9)
Karena komplikasi-komplikasi itulah, makanya mantan Menteri di era Presiden Gus Dur ini menganggap isu reshuffle cuma
testing the water.
"Kalau mau betul terjadi reshuffle, presiden harus tidak tergantung pada parpol sama sekali atau tetap gunakan formula parpol, tapi orang-orang yang dipakai adalah profesional dan bisa dipercaya," ujarnya.
Hikam mengatakan sangat tipis akan ada perubahan fundamental dalam pola perekrutan personil kabinet. Apalagi kalau SBY masih sangat tergantung dengan partai politik. Dia mencermati, dengan adanya isu reshuffle, ancaman dari DPR mulai terasa dengan menabuh genderang penggunaan hak-hak DPR yang memojokkan pemerintah.
"Belum apa-apa saja DPR sudah mengancam sekarang. Priyo (Wakil Ketua DPR dari Golkar) mendorong akan hak menyatakan pendapat atau interpelasi. Itu sangat
complicated kan. Sekarang partai yang punya menteri di kabinet saja berani melakukan sikap yang tak konsisten di DPR, apalagi kalau menterinya diganggu," urainya lagi.
Dia yakin, Presiden SBY bukan tipe pemimpin yang tegas dalam bertindak. SBY sangat tergantung dengan partai politik walaupun Sekretariat Gabungan koalisi pemerintah tidak efektif sama sekali. Maka baginya, isu reshuffle cuma uji lapangan saja, dan isu itu tak perlu terlalu dieksploitasi media massa.
"Ujung-ujungnya cuma saling ancam saja, terus ujungnya tidak akan beres juga kok. Semua pengamat bisa bilang apa saja, tapi bagi saya itu sudah lewatlah," katanya dengan nada pesimis.
[ald]
BERITA TERKAIT: