Sebab, dalam perjalanan hidup dan kehidupan ini, manusia pasti tidak luput dari berbuat dosa dan kesalahan, baik itu yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Dan solusi untuk mengatasinya, agar dapat kembali ke fitri adalah dengan saling memaafkan secara tulus dan ikhlas, lahir dan bathin.
Di samping itu, hal ini juga tidak terlepas dari makna Idul Fitri itu sendiri, yakni kembali kepada kesucian, sebagaimana sucinya bayi yang baru dilahirkan.
Secara etimologis, Idul Fitri berarti hari raya kesucian atau juga berarti hari raya kemenangan. Yakni kemenangan mendapatkan kembali mencapai kesucian, fitri yang sejati. Adapun kata
‘id dalam bahasa Arab diambil dari akar kata
‘ain-wa-da, yang memiliki banyak arti, di antaranya sesuatu yang berulang-ulang. Kata
‘id juga berarti kebiasaan dari kata
‘adah. Dan kata
‘id juga memiliki arti kembali, kembali ke asal dari kata
‘audah. Menurut pakar tafsir Al Qur’an, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, halal bihalal merupakan kata majemuk dari dua kata bahasa Arab halala, yang diapit dengan satu kata penghubung ba (dibaca: bi). (Shihab, 1992: 317).
Walaupun kata halal bi halal berasal dari bahasa Arab, sejauh yang kita ketahui, masyarakat Arab sendiri tidak akan memahami arti halal bi halal yang merupakan hasil kreativitas bangsa Melayu.
Halal bi halal, tidak lain, adalah hasil pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat Asia Tenggara. Halal bihalal merupakan tradisi khas dan unik bangsa ini. (Khamami, 2011)
Kata halal mempunyai dua makna. Pertama bermakna diperkenankan, yang merupakan lawan dari kata haram (dilarang atau tidak diperkenankan). Kedua, maknanya baik. Hal ini terkait dengan status kelayakan sebuah makanan, yang biasanya dikaitkan dengan kata
thayyib (halalan thayyiban). Ukuran halal yang harus dijadikan
guidance, selain halal bermakna diperkenankan, juga yang baik dan yang menyenangkan.
Dalam konteks makanan, misalnya, daging kambing adalah halal (diperkenan) tetapi bagi penderita penyakit hipertensi maka menjadi tidak menyenangkan. Sebab mudharatnya lebih banyak dari pada manfaatnya.
Allah SWT berfirman,"(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri , mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (QS. Ali Imran 134-135).
Ayat tersebut dapat menjadi landasan teologis bagi pelaksanaan halal bihalal. Sebab dengan melaksanakan halal bi halal, berarti kita termasuk golongan orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan jika hal tersebut diamalkan dengan baik dan benar, pahala akan mengalir bagi yang melaksanakannya.
Kultur saling memaafkan, yang populer disebut halal bihalal, merupakan fenomena yang terjadi di Indonesia dan telah menjadi tradisi turun temurun di negara-negara rumpun Melayu, seperti di Malaysia dan Singapura. Hal tersebut merupakan salah satu refleksi dari ajaran Islam yang menekankan sikap persaudaraan, persatuan, dan saling memberi kasih sayang. Karena itu, di hampir semua institusi, baik pemerintah maupun swasta, acara halal bihalal telah menjadi tradisi tahunan yang “wajib†dilaksanakan.
Dalam konteksnya yang lebih luas, halal bihalal adalah acara maaf-memaafkan pada hari Lebaran Idul Firi, yang merupakan bentuk eksistensi pesta kemenangan umat Islam yang telah berhasil mengatasi berbagai nafsu hewani pada bulan Ramadhan. Dalam konteks yang lebih sempit, pesta kemenangan Lebaran Idul Fitri ini, dikhususkan bagi umat Islam yang telah berpuasa dengan dilandasi rasa iman dan mengharap ridho Allah SWT.
Berdasarkan makna halal bihalal seperti tersebut di atas, pesan universal Islam yang harus kita ambil dan amalkan adalah perintah untuk selalu berbuat baik, memaafkan orang lain dan saling sayang menyayangi. Jika hal tersebut terwujud, maka kedamaian dan ketentraman akan terwujud di bumi Indonesia tercinta.
Wallahu a’lam.Penulis adalah dosen Studi Islam pada Fakultas Ekonomi Universitas Prof. Dr. HAMKA, Jakarta.
BERITA TERKAIT: