Bulan November 2010 ketika itu.
Sabar lahir dan besar di Solo, Jawa Tengah, 43 tahun silam. Persisnya 9 September 1968.
Mountaineering, hiking, dan
biking adalah hobinya sejak masih remaja. Suami Lenie Indria dan ayah Novalia Eka Sadriani itu kini bekerja sebagai pembersih gedung-gedung tinggi di Solo selain menjadi pelatih panjat dinding dan mendaki gunung untuk mahasiswa beberapa kampus dan sesama penyandang cacat.
Dalam pertemuan pertama itu, salah satu hal yang disampaikan Sabar adalah cerita tentang kecelakaan di Stasiun Karawang tahun 1990 silam yang membuat dia kehilangan satu kaki. Di hari naas itu Sabar dalam perjalanan dari Jakarta menuju Solo setelah mendaki Pangrango di Jawa Barat. Sabar tak menduga kereta yang ditumpanginya hanya berhenti sebentar saja di Stasiun Karawang, itu sebabnya seperti biasa ia turun ke pelataran peron untuk membeli sebotol air mineral. Ia terjatuh ketika berusaha mengejar kereta. Kaki kanannya terlindas roda kereta dan hancur.
Orang-orang yang berada di stasiun mengevakuasi Sabar ke rumah sakit terdekat. Kaki kanan Sabar diamputasi hingga beberapa sentimeter di atas lutut. Itu bukan operasi terakhir. Di Solo, Sabar dioperasi dua kali lagi hingga tulang paha kanannya hanya tersisa kurang lebih 5 cm.
Sejak saat itu hingga kini, saya telah berkali-kali mendengarkan kisah kecelakaan yang menimpa Sabar. Adapun Sabar, walau terus mengulang ceritanya setiap kali bertemu dengan orang-orang baru, sama sekali tidak terlihat terganggu. Bagi Sabar kecelakaan itu adalah titik balik kehidupannya. Ia tentu saja sempat
down dan dan putus asa. Tetapi setahun setelah kecelakaan ia kembali ke alam. Gunung Lawu didakinya. Empat tahun kemudian Sabar mengayuh sepeda dari Solo ke Bali selama enam hari. Ia juga pernah menyusuri Bengawan Solo hingga ke muara.
Prestasi tertinggi yang diraihnya sejauh ini adalah medali emas dalam kompetisi panjat dinding tingkat Asia untuk penyandang cacat di Chun Cheon, Korea Selatan, tahun 2009. Prestasi yang membuat bendera merah-putih dikibarkan dan lagu Indonesia Raya dikumandangan setelah medali emas dikalungkan di leher Sabar.
Hal lain yang disampaikan Sabar yang dalam pertemuan itu datang bersama Budi Cahyono, seorang pemanjat dinding profesional dan juara Asia, adalah cerita kegagalannya berangkat ke Italia untuk mengikuti pertandingan tingkat internasional. Padahal ia telah mengantongi rekomendasi.
Sabar juga menyampaikan keinginan mendaki tiga puncak tertinggi di dunia, yakni Elbrus di Rusia, Kilimanjaro di Tanzania dan Carstensz di Papua, Indonesia. Ketiga puncak ini adalah bagian dari
seven summits atau tujuh puncak dunia.
Mendaki
seven summits adalah mimpi semua pendaki gunung. Bisa menaklukkan salah satu dari tujuh puncak itu adalah
achievement yang tak ternilai. Apalagi bisa mencapai lebih dari satu, atau bahkan menaklukkan semuanya!
Adalah seorang pengusaha kelahiran Oklahoma, Amerika Serikat, Richard Bass, yang pertama kali menuliskan hukum ini dan mencatatkan dirinya sebagai penakluk pertama ketujuh puncak tertinggi di dunia. Everest yang merupakan puncak tertinggi sekaligus yang paling sulit, ditaklukkan Bass pada 30 April 1985.
Ketujuh puncak dunia dalam daftar Bass adalah Kilimanjaro di Tanzania setinggi 5.892 mdpl, Vinson Massif di Antartika dengan ketinggian 4.892 mdpl, Kosciuszko di Australia setinggi 2.228 mdpl, Everest di Himalaya setinggi 8.848 mdpl, Elbrus di Rusia setinggi 5.642 mdpl, Mount Kinley di Alaska, Amerika Serikat dengan ketinggian 6.194 mdpl dan terakhir Aconcagua di Andes, Argentina setinggi 6.962 mdpl.
Setahun setelah Bass, pendaki asal Italia, Reinhold Messner, menghapus Kosciuszko dari daftar
seven summits dan sebagai gantinya memasukkan Piramida Carstensz di Puncak Jaya, Papua, Indonesia, yang memiliki ketinggian 4.884 mdpl. Menurut Messner, Carstensz jelas lebih pantas dari Kosciuszko untuk mewakili Oceania dan Pasifik.
Namun begitu adalah Pattrick Allan Morrow dari Kanada yang pertama kali mendaki semua puncak yang ada dalam daftar Bass dan Messner setelah ia menundukkan Carstensz pada Mei 1986. Hingga Januari 2010 disebutkan bahwa sekitar 275 pendaki telah menaklukkan puncak-puncak dunia itu. Sepertiga di antara mereka menaklukkan semua gunung yang ada di dalam daftar Bass dan Messner. Itu artinya, seperti Morrow, pendaki-pendaki ini menaklukkan bukan tujuh, tetapi delapan puncak dunia!
Menaklukkan
seven summits adalah prestise setiap pendaki gunung. Bagi Sabar yang sejak remaja gemar mendaki gunung, menaklukkan salah satu puncak tertinggi di dunia pun menjadi mimpi yang selalu mengganggu tidurnya di malam hari.
Di sisi lain semangat dan energi positif yang dipancarkan Sabar selama pembicaraan begitu menyentuh hati. Dari kisah-kisah yang disampaikannya dapat disimpulkan bahwa ia bukanlah orang yang mudah menyerah. Ia tidak melankolik-dramatik, tidak cengeng dan menganggap setiap kejadian dalam hidup manusia adalah sungguh-sungguh cobaan yang harus dihadapi. Sepanjang pembicaraan dia tidak sedikitpun berusaha membuat agar yang mendengarkan ceritanya merasa iba.
Di mata kami Sabar adalah sosok ideal manusia Indonesia, yang kendati menghadapi berbagai cobaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini tetapi tidak putus asa dan mengiba-iba. Sebaliknya, ia bekerja keras mengerahkan semua kemampuan untuk menghadapi cobaan dan mengubah hambatan menjadi tantangan.
Dari Sabar kami menyimpulkan bahwa Sabar bukanlah pasrah, fatalis dan menunggu apa kata nasib. Melainkan Sabar adalah persistensi dan konsistensi dalam memecahkan masalah.
Sabar juga berarti tanggung jawab. Ia tak pernah mengeluh dan tak pernah menjadikan kondisi fisiknya sebagai alasan untuk hidup menderita.
Setelah berdiskusi panjang lebar dengan Sabar, Budi dan staf
Rakyat Merdeka Online Dar Edi Yoga hari itu juga diambil keputusan untuk membuat sebuah tim Ekspedisi Merdeka yang akan membantu Sabar mewujudkan mimpinya. Tim itu diberi nama
Ekspedisi Merdeka-RMOL.
Dua gunung pertama yang hendak didaki Sabar adalah Kilimanjaro dan Elbrus. Kami mengumumkan rencana itu pada akhir Januari 2011 di Jakara Media Center, Jakarta. Di malam penyerahan RMOL
Awards untuk sejumlah tokoh itu, kami memberikan kesempatan kepada Sabar untuk memperlihatkan kemampuannya memanjat dinding.
Dengan tatapan kagum bercampur waswas semua mata mengikuti gerakan lincah Sabar menaiki satu persatu batu undakan yang dipasang di dinding setinggi 4 meter itu. Dua kali ia mencapai puncak dengan mudah sebelum akhirnya mengibarkan bendera merah putih.
Eksebisi Sabar malam itu disaksikan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Menteri Koperasi dan UKM Syarief Hassan, Menteri Komunikasi Tifatul Sembiring, dan Menteri Pendayagunaan Apatur Negara dan Reformasi Birokrasi EE Mangindaan. Sejumah tokoh gerakan seperti Adhie Massardi dan Syahganda Nainggolan pun hadir. Begitu juga dengan tokoh oposisi dan ekonom senior Rizal Ramli.
Setelah malam itu, kami menemui sejumlah pejabat negara dan tokoh nasional untuk memperkenalkan rencana Sabar. Yang pertama kami temui adalah Menko Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono yang beberapa waktu setelah itu mengirimkan surat kepada tiga menteri, Menpora, Menkominfo dan Mensos. Di dalam surat itu, Menko Kesra meminta ketiga menteri tersebut membantu rencana Sabar. Namun sampai Sabar berangkat menuju Elbrus hanya Menpora yan merespon surat Menko Kesra itu. Dua menteri lainnya terlihat ogah-ogahan. Staf Khusus Presiden Andi Arief termasuk yang memberikan dukungan dan motivasi.
Akhir Mei 2011, Sabar memanjat Tugu Selamat Datang di Bundaran HI, Jakarta. Disaksikan masyarakat ibukota yang tengah menikmati hari bebas kendaraan Sabar membutuhkan waktu kurang dari 10 menit untuk tiba di puncak tugu yang dibangun di masa Presiden Sukarno itu. Sejumlah tokoh nasional dan anggota DPR RI dari beberapa partai juga ikut menyaksikan. Menpora bahkan menyempatkan diri untuk hadir di tengah berbagai kesibukannya.
Setelah eksebisi Tugu Selamat Datang, Sabar dan tim Ekspedisi Merdeka-RMOL kembali menemui sejumlah tokoh dan pejabat negara. Presiden SBY menerima Sabar diakhir Juli. Disusul pertemuan dengan Ketua DPR Marzuki Alie dan Ketua MPR Taufik Kiemas beberapa hari sebelum Sabar meninggalkan tanah air. Latihan terakhir Sabar digelar di kampus Universitas Bung Karno (UBK) di Jakarta disaksikan pendiri kampus itu dan mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Rachmawati Soekarnoputri. Semetara pelepasan Sabar ke Rusia digelar dikediaman Rizal Ramli di Jakarta dibarengi buka puasa bersama dan pembacaan doa.
Karena keterbatasan waktu, Sabar tak bisa bertemu dengan sejumlah tokoh lain, seperti mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut.
Selain memandang Sabar sebagai gambaran ideal orang Indonesia yang pantang menyerah, kami pun berharap ia dapat menjadi figur yang bisa menyatukan seluruh tokoh bangsa yang belakangan ini menurut hemat kami cenderung terpecah belah dan berjuang untuk kepentingan kelompok kalau tidak untuk kepentingan diri pribadi.
Dengan menggunakan Sabar sebagai medium, kami ingin mengingatkan kaum elite bahwa masa depan Indonesia sebagai sebuah entitas yang berdaulat dan memiliki tanggung jawab yang besar untuk melindungi dan menyejahterakan rakyat jauh lebih penting dari sekadar kompetisi politik jangka pendek di antara mereka.
Inilah makna paling penting di balik pendakian gunung Elbrus dan pengibaran bendera merah putih di puncak gunung itu yang dilakukan Sabar dan tim Ekspedisi Merdeka-RMOL.
Ketika manifesto ini dituliskan (Minggu, 14 Agustus) Sabar dan tim Ekspedisi Merdeka-RMOL bersama pendaki dari Universitas Negeri Semarang (Unnes) dan pendaki dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) sedang dalam perjalanan dari kamp Emanuel di titik 2.580 mdpl menuju titik 3.800 mdpl untuk bermalam di kamp Moraine. Senin (15/8) Sabar dan semua pendaki akan menuju titik 4.600 mdpl, dan bermalam di kamp Batu Lenz. Selasa (16/8) Sabar Cs naik dari titik 4.600 mdpl menuju titik tertinggi 5.642 mdpl. Pendakian inilah yang disebut dengan istilah
summit attack.
Sejauh yang kami pantau saat ikut bermalam di kamp Emanuel kondisi kesehatan Sabar cukup prima. Dokter Agung Hadyono dari Madiun dengan rutin memeriksa kadar oksigen dalam darah dan denyut nadi Sabar. Sergei Baranov dan Viktor Ersyov dari Alpindustria yang mendampingi Sabar dalam latihan ringan di sekitar kamp juga mengakui bahwa Sabar memiliki teknik
hiking dan
climbing yang memadai untuk naik ke puncak Elbrus. Di luar urusan teknis, faktor cuacalah yang kelihatannya akan menentukan apakah pendakian ke puncak Elbrus akan berlangsung dengan lancar atau tidak.
Beberapa pendaki yang baru kembali dari pendakian Elbrus mengatakan bahwa dalam beberapa hari terakhir kondisi di atas ketinggian 3.800 mdpl umumnya cerah. Matahari bersinar terik, angir bertiup tak terlalu kencang, juga tidak ada gumpalan awan yang mengganggu pandangan.
Dua pendaki dari Moskow yang kami temui di Hotel Intourist, Pyatigorsk, gagal mencapai puncak tertinggi bukan karena faktor cuaca yang buruk. Aleksei menyerah di titik 4.200 mdpl dan Igor mengibarkan bendera putih setelah mencapai titik 5.400 mdpl karena faktor fisik dan mental.
Apapun hasil pendakian ke puncak Elbrus ini, dengan segala kerendahan hati kami menilai bahwa Sabar telah berhasil mencapai keinginan dan menggapai cita-citanya. Sungguh bukan hal mudah bagi Sabar yang memiliki hambatan fisik begitu rupa untuk bisa merambat naik ke atas Elbrus, dan gunung-gunung lain di tanah air yang telah dia taklukkan sebelum ini.
Karena itu pula kami mengapresiasi keberanian Sabar. Kami berutang pada kesabarannya menaklukkan hambatan terbesar yang ada pada dirinya. Kepada Sabar pula lah, kembali menurut hemat kami, rakyat dan pemimpin-pemimpin negeri ini perlu belajar menyelamatkan cita-cita kemerdekaan Indonesia Raya: mendirikan sebuah republik yang dapat melindungi dan menyejahterakan rakyat semesta.
Salam Indonesia Raya!
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Rakyat Merdeka Online dan Promotor Ekspedisi Merdeka-RMOL
BERITA TERKAIT: