"Sanksinya mau keras, mau lembek, itu ya tergantung komposisi di sana (Komite Etik). Tergantung bagaimana pertemanan mereka. Kalau di MK kemarin, bagamaina (majelis kehormatan) teman-teman mereka, (putusannya) nggak tegas," kata pengamat hukum tata negara Refly Harun kepada
Rakyat Merdeka Online sesaat lalu (Rabu, 10/8).
Refly membandingkan dengan putusan Majelis Kehormatan MK yang memutuskan Hakim Arsyad Sanusi terbukti melanggar kode etik. Pasalnya, Neshawaty Arsyad (puteri kandung), Zaimar (adik ipar) dan panitera pengganti Mahkfud (bawahan langsung), beberapa kali bertemu pihak berperkara yakni Dirwan Mahmud, mantan calon Bupati Bengkulu Selatan. Bahkan pertemuan pertama berlangsung di apartemen Arsyad Sanusi. Tapi sanksinya dinilai tidak tegas. Kasus ini berawal dari tulisan Refly di harian
Kompas. Namun, melihat komposisi Komite Etik yang juga diisi pihak luar KPK yang selama ini tak diragukan lagi kredibilitasnya, seperti Marjono Rekso Diputro, Sjahruddin Rosul, Nono Anwar Makarim, Ahmad Syafii Maarif, dia optismistis akan memberikan putusan yang tegas.
"Sebenarnya ini pun sudah bagus. Orang-orang disana sudah bagus, mereka kan negarawan. Tetapi sekai lagi mereka ini akan berhitung dalam memberikan sanksi etik," katanya.
Refly menjelaskan, bisa saja sanksi yang akan diberikan keras. Tapi implikasinya, publik akan menilai bahwa betul KPK sudah tidak benar lagi. Sebaliknya, citra KPK masih terjaga, kalau sanksinya tidak tegas. Di sinilah Komite Etik akan berhitung.
"Seperti di MK kan tidak terlalu keras. Ini untuk memunculkan citra MK masih benar. Tapi kan pada ujungnya (Arsyad) terbukti juga terlibat dalam kasus (lain) surat palsu (MK). Saya khawatir KPK juga begitu ujungnya," tandasnya.
[zul]
BERITA TERKAIT: