Di Tanah Merah Jakarta Utara hingga hari ini ada sekitar 27.000 jiwa warga pribumi belum bisa memiliki KTP sesuai domisili. Padahal faktanya mereka adalah penduduk kota DKI Jakarta yang telah bertempat tinggal di Tanah Merah, Plumpang, Jakarta Utara lebih dari sekitar 20-30 tahun. Ribuan penduduk ini juga memberikan kontribusi bagi pembangunan kota Jakarta, ikut memberi suara saat pemilu gubernur dan membentuk panitian pemilihan serta TPS-nya.
Ketua Forum Komunikasi Tanah Merah Bersatu (FKTMB), Mohamad Huda, kepada
Rakyat Merdeka Online (Sabtu, 30/7), mengatakan "pemboikotan" SE Mendagri oleh Gubernur DKI Fauzi Bowo, adalah tindakan yang mencerminkan rusaknya sistem pemerintahan di negeri ini. Tindakan Gubernur bersapaan Foke itu berpotensi dikuti oleh kepala daerah lainnya dan dimasa mendatang Gubernur-pun tidak segan memboikot kebijakan presiden.
Huda membahas alasan Gubernur DKI berani memboikot SE Mendagri tersebut. Foke menjelaskan dirinya memegang ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi, yakni UU Nomor 23 tahun 2006 tentang Adminduk dan Perda Nomor 4 Tahun 2004 yang mengatur semua wajib KTP harus memiliki surat domisili dari RT dan RW setempat untuk mengajukan KTP.
"Herannya ketentuan diantara SE Mendagri, UU Adminduk dan Perda ternyata tidak bertentangan dan tidak ada benturan satu dengan yang lain. Keberadaan SE Mendagri sangat berkesesuaian dan justru melengkapi peraturan-peraturan tersebut," ujarnya.
Pasal 2 UU No 23 Tahun 2006 menegaskan bahwa "Setiap Penduduk mempunyai hak untuk memperoleh: a. Dokumen Kependudukan; b. pelayanan yang sama dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil; c. perlindungan atas Data Pribadi; d. kepastian hukum atas kepemilikan dokumen; e. informasi mengenai data hasil Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil atas dirinya dan/atau keluarganya; dan f. ganti rugi dan pemulihan nama baik sebagai akibat kesalahan dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil serta penyalahgunaan Data Pribadi oleh Instansi Pelaksana.â€.
Gubernur Foke harusnya terkena sanksi atas tindakannya telah menghalangi dan menghambat hak warga negara untuk memperoleh dokumen kependudukan sebagaimana ditegaskan pasal 92 ayat (1) UU No 23 Tahun 2006 bahwa: "Dalam hal Pejabat pada Instansi Pelaksana melakukan tindakan atau sengaja melakukan tindakan yang memperlambat pengurusan Dokumen Kependudukan dalam batas waktu yang ditentukan dalam undang-undang ini dikenakan sanksi berupa denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)."
Menurutnya, e-KTP adalah dokumen kependudukan bukan bukti penguasaan hak atas tanah. Tidak ada satu aturan-pun yang mencampurkan-adukan antara peraturan administrasi kependudukan dan peraturan hak atas tanah. Jadi sudah jelas bahwa tempat domisili bukanlah bukti penguasaan hak atas tanah.
"Lalu apa kiranya hingga Gubernur tidak mau memfasilitasi pembentukan RT/RW di wilayah yang dianggap masih bermasalah seperti di tempat kami? Adakah aturan yang menyebutkan bahwa pemerintah dilarang menerbitkan e-KTP dan memfasilitasi pembentukan RT/RW di wilayah yang bermasalah?" ujar Huda heran.
Karena itu, dia menuntut kepada Gubernur DKI Fauzi Bowo dan Walikota Jakarta Utara Bambamg Sugiono untuk segera meminta maaf kepada warga Tanah Merah dan segera menjalankan kewajiban yang diembannya sebagaimana amanat UU untuk memberikan hak atas status kependudukan warga Tanah Merah Plumpang.
"Resmikan RT/RW di Tanah Merah dan terbitkan KTP, KK dan akte kelahiran untuk seluruh warga Tanah Merah sesuai domisili," tegasnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: