Pemerintah Harus Tambah Subsidi KRL Jabodetabek!

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/aldi-gultom-1'>ALDI GULTOM</a>
LAPORAN: ALDI GULTOM
  • Kamis, 23 Juni 2011, 17:30 WIB
Pemerintah Harus Tambah Subsidi KRL Jabodetabek<i>!</i>
ilustrasi
RMOL. Tanggal 2 Juli adalah batas akhir pengoperasian KRL Ekonomi AC Jabodetabek (tarif Rp5.500 Depok/Bogor dan tarif Rp 4.500 Serpong/Bekasi/Tangerang) dan KRL AC Ekspres Jabodetabek (tarif Rp11.000 Bogor). Pemberhentian seluruh operasi KRL tersebut digantikan dengan KRL AC single operation Jabodetabek (tarif Rp9.000 Depok/Bogor dan Rp8.000 Serpong/Bekasi/Tangerang).

Anggota Komisi V DPR, Sigit Sosiantomo, meminta pemerintah melalui Menteri Perhubungan agar melakukan peninjauan ulang pemberlakukan sistem ini. Menurutnya, hampir 50 persen jadwal perjalanan KRL Ekonomi mengalami penurunan, dari 17 jadwal perjalanan KRL Ekonomi per harinya hanya menjadi 9 perjalanan. Pemerintah harus melakukan peninjauan bahkan pembatalan rencana pengoperasian single operation jika ternyata akan menyebabkan berkurangnya jumlah perjalanan KRL ekonomi.

"Berkurangnya jumlah perjalanan KRL Ekonomi akan menyebabkan semakin padatnya gerbong KRL ekonomi dan secara kualitas akan semakin memprihatinkan," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Rakyat Merdeka Online, Kamis (23/6).

Sigit menegaskan bahwa program ini jelas tidak pro-poor dan menyalahi amanat UUD tentang Pelayanan Umum. Dalam penggalan pasal 34 ayat (3) UUD 1945 disebutkan bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanaan umum yang layak.

"Pemerintah harus memastikan kelayakannya, baik dari sisi jumlah perjalanan maupun kualitas keretanya,” tegasnya

Apabila alasan pengurangan jumlah jadwal perjalanan KRL Ekonomi dikarenakan kurangnya subsidi pemerintah terhadap biaya Public Service Obligation (PSO) kepada PT. KAI maka pemerintah harus menambah besaran subsidi PSO tersebut. Solusi ini menurutnya dapat mengatasi kelangkaan KRL Ekonomi. Pemerintah juga harus tinjau ulang kenaikan tarif KRL Ekonomi AC dari Rp5.500 menjadi Rp9.000 dengan sistem single operation. Dia mengkhawatirkan akan menyebabkan beralihnya mayoritas masyarakat kepada penggunaa kendaraan pribadi, khususnya motor, untuk jarak-jarak pendek. Sigit menegaskan bahwa hal ini tentu bertentangan dengan semangat menjadikan KRL sebagai tulang punggung transportasi pengurang kemacetan di Jakarta.

Lebih lanjut, Sigit  menyarankan agar subsidi BBM yang telah mencapai angka Rp 42 triliun dan dikhawatirkan terus membengkak, agar dialihkan secara gradual untuk menambah subsidi (PSO) transportasi massal (KRL) ini agar kondisinya semakin layak dan diharapkan dengan pengaturan yang baik akan menyebabkan pengguna kendaraan pribadi yang per harinya bertambah 1200-an motor dan ratusan mobil yang mayoritasnya adalah pengguna BBM bersubsidi mau pindah menggunakan KRL. Sigit melengkapi pula bahwa wacana pembatasan BBM bersubsidi di Jabodetabek agar segera dilakukan dan secara gradual diterapkan juga di kota-kota besar.

Untuk mengurangi dampak bertambahnya penggunaan angkutan pribadi berbasis
BBM bersubsidi seperti premium dan untuk mengatasi kemacetan, Sigit mendukung pengalihan Subsidi BBM untuk KRL dan moda angkutan massal lainnya seperti Bus Transjakarta (Busway) sehingga angkutan massal mendapatkan subsidi yang besar dari Pemerintah Pusat  terutama di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta-Surabaya-Bandung.[ald]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA